Sabtu, 07 Juni 2008

Rumah Para Filsuf


Dalam cerita yang Naxi dapatkan dari balik celoset kamar mandi Ruang Tengah. Seseorang yang baru pertama kali mengenal filsafat tidak jauh beda seferti orang yang melihat rumah dari kejauhan. Rumah itu terlihat remang-remang, menyeramkan, kumuh tak terawat. Tetapi di balik keseramanya rumah itu mengundang sejuta kepenasaran bila dipandang dengan seksama. Karena rasa penasaranya, maka orang itu mendekat, samapailah dia berada di depan rumah itu. Setelah sampai di depan rumah pikiranya menjadi berbeda, ternyata keadaan sesungguhnya tidaklah seferti apa yang ia bayangkan sebelumnya ketika melihat rumah itu dari kejauhan, hiasanya indah, catnya mengkilap dan pekarangnya bak taman gantung meopotamia dengan taburan bunga-bunga sepatu dan kacapiring putih.

Saat tepat berada di depan rumah, munculah dalam benaknya beberapa pertanyaan. “apa saja yang menjadi tiang rumah ini ?”, “apa saja yang menjadi atap dari rumah ini ?”. “cat apa yang digunakan ?”. Kemudian pertanyaanya berlanjut, “bagaimana genteng-genteng yang ada di atas bisa tersusun”, “bagaimna tembok-tembok batu batanya bisa tertata rapi”, “bagaimana kaca-kaca jendela bisa terpasang”. Kemudian pertnyaanya berlanjut lagi, “untuk apa rumah ini menggunakan genteng yang demiakian?”, “untuk apa dinding rumah ini di cat dengan warna demikian?”.

Semakin ia bertanya, dengan “apa”, “bagaimana” dan “untuk apa” maka semakin banyak keheranan yang dirasakanya. Karena saking heranya, dia berjalan mendekati pintu rumah, dibukanya pintu itu dan masuk kedalamnya. Ternyata di dalam dia menemukan banyak kamar, di kiri, di kanan di depan dan di belakang. Penasarnya semakin bertamabah, di bukalah kamar itu satu persatu. Di kamar yang pertama dia menemukan Marx sedang tidur pulas, hidungnya tertutup dengan kain kecil sehingga tak dapat terelakan lagi dengkuranya menggema laksana suara jangkrik di malam hari. Saat pandangany melirik dia merasa terkejut karena yang dari luar terlihat kecil itu mempunyai pintu kamar yang banyak lagi. Sedikit badan Marx bergerak menarik selimut orang itu bergegas keluar, dia takut Marx terkejut bila tahu orang yang tidak dikenalinya berani masuk ke kamarnya.

Di kamar ke-dua dia menemukan Adam Smith sedang membaca, tapi Adam Smit tidak merasa terganggu dengan kedatanganya. Sejuta buku lusuh bertumpuk memenuhi dinding di sekitarnya, smapi kamar kecil di sudut kiri yang terbuka penuh dengan buku-buku juga. Dikamar itupun tidak jauh beda dari kamar sebelumnya, mempunyai kamar-kamar lain yang jumalahnya banyak juga. Di kamar ke-tiga dia menemukan Lao Tzu sedang bermeditasi, tasbih besar melilit dua kali lilitan di lehernya, kepalanya botak bertuliskan hurup-hurup kecil perpaduan heroglif dan cina kuno. Keadaan kamarnya sunyi dengan hiasan dinding yang penuh dengan tulisan-tulisan Cina, di samping kiri dan kananya terdapat kamar yang bertuliskan tak dimengerti, begitu juga kamar yang satunya lagi bertuliskan hurup-hurup cina yang tak dapat dimengerti.

Di kamar Lao Tzu ini susananya sejuk dan menentramkan, lantunan musik saolin mengalun lembut menembus pori-pori kesadaran. Tiba-tiba sejenak Lao Tzu meliriknya, dia tersenyum ramah, giginya putih, dan jenggot putihnyapun bergerak dengan perlahn Orang itu bergegas keluar sama sekali dia tidak membalas senyuman yang diberika Lau Tzu, sebetulnya dia masih penasaran ingin masuk ke kamar-kamar berikutnya, dia berfikir mungkin dalam kamar-kamar itu akan di dapatinya tarian-tarian yoga yang dimainkan gadis-gadis cina sebelum zaman batu. Dia luar kamar tepatnya di Ruang Tengah dia merenung, dilihatnya beberapa kamar yang masih belum dimasukinya, dalam benaknya muncul pertanyaan “apa sesungguhnya ini”. Tanpa ia duga, secara bersamaan dari sekian banyak kamar yang ada muncul jawaban keras sekeras teriakan orang sekarat “Iniliah rumah tempat berkumpulnya para filsuf, selamat dating dan selmat menikmati hidangan sea food yang kami sajikan ”. Teriakan itu bergema, menukik dan menghentakan genderang telinga, sampai akhirnya orang itu tuli tak mendengar sama sekali, otaknya pecah dan aklnya tertukar dengan otak kepiting.

By

Rijal Ramdani