Senin, 29 Desember 2008

Orang Aneh


Gua nggak tahu sebetulnya apa yang terjadi dengan diri, gua merasa hidup ini sama sekali tak berarti. Pertanyaan

“untuk apa gua hidup dan mengapa gua hidup?”

demi allah setengah mati terus-terusan membayangi di manapun gua berdiri. Terkadang bingung, sebetulnya kenapa gua memikirkan hal itu, apa manpaatnya andai jawaban dari dua pertanyaan itu terjawab.

Andai gua nggak terlahir ke dunia ini, mungkinkah dunia ini ada?. Seandainya dunia tetap ada walaupun gua nggak terlahir ke dunia, posisi gua berada di mana?. Apakah ada tempat tinggal selain bumi yang saat ini gua pijaki?. Andai ada, kenapa gua harus hidup di bumi, kenapa gua nggak ditempatkan di tempat lain?.

Semua orang mengatakan kehidupan ini akan berarkhir bila tidak ada air, katanya pula andai di Mars ada air sudah dipastikan manusia akan berbondong-bondong pindah ke sana. Membuat kehidupan baru, tempat rekreasi baru, tempat hiburan, prostitusi dan hotel-hotel mewah di sana. Apakah benar selain air ada sesuatu yang bisa menggantiakanya?. Inikah bukti konkrit terhadap pernyataan yang mengatakan bahwa sesuangguhnya segala sesuatu berasal dari air?.

Bagi gua andai manusia semuanya percaya segala sesuatu dari air, mereka semua goblok, nggak mau menggnunakan akal untuk berpikir ulang. Nggak mungkin asal segala seuatu dari air. Permukaan air itu lembek tidak akan mampu menahan beban yang kuat, kecuali jumlah volume airnya besar baru bisa menahan beban. Namun bila airnya hanya setets air tidak bisa menahan beban apapun, bahkan air akan melebur menempel di setiap tempat yang bisa diresapinya.

Air beda dengan batu, batu itu kerasa permukaanya, benda apapun yang menumpanginya batu akan tetap kuat untuk menahanya. Kecuali bila batu dipukul uratnya dengan tepat, barulah batu bisa terpecah menjadi beberapa keeping. Apakah mungkin batu yang begitu kuatnya berasala dari air?. Ini sesuatu yang tidak mungkin.

Apa yang dikatakan sejarah mengenai manusia yang berasal dari Adam, kemudian sebagaian lagi berkata manusia berasala dari kera. Kedua kubu ini berdebat panjang, satu sama lain saling menjatuhkan argumentasi. Gua cape dengan buku-buku, makalah-makalah dan jurnal-jurnal dalam media masa yang selalu berdebat tentang hal ini. Sama sekali gua nggak menemukan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa manusia bukan berasal dari Adam ataupun kera, tapi manusia berasal dari---terserah mau dari apapun---yang penting ada pendapat baru.

****

Saat gua sendiri, setiap kali masuk ke kelas tak ada seorang pun yang peduli kalau gua datang. Beda banget kalau yang datangnya bukan gua, pastilah salah seorang dari yang menempati tempat duduk di kelas menyambut dengan ungkapan-ungkapan persahabatan.

“whey brow loe keren benget pake tas itu”. “whey bro, loe datang terlambat terus ya!!!”.

Sambutan seperti itu nggak pernah ada yang ditujukan buat gua, bila gua melangkahkan kaki melewati pintu tak ada satupun yang peduli sejenak menatap langkah gua. Tak ada seorang pun yang mengajak gua supaya duduk sebangku. Gua terisolasi, duduk sendiri, merenung sendiri, menghadapi masalah sendiri, jajan sendiri dan sibuk dengan pikiran-pikiran gua sendiri.

Sebetulnya bukan berarti anak-anak di kelas benci sama gua, atau mereka jiji dan muak dengan gua. Justru sebaliknya, mereka segan, mereka malu untuk menyapa. Gua terlalu terhormat bagi mereka, mereka merasa terlalu kecil bila berhadapan dengan gua.

Terkadang di saat bosan dengan kesenderian, gua mencoba bergaul membincangkan hal-hal konyol dengan mereka. Berusaha sekuat tenaga bertahan dalam obrolan mereka. Tapi percuma saja, apa yang mereka bincangkan sama sekali nggak bermutu, hanya berbincang mengenai rokok terenak yang mereka isap, hanya berbincang mengenai perempuan tercantik se kelas Satu dan hanya berbincang mengenai hits-hits terbaru yang beredar di belantika musik Indonesia.

Muak gua dengan obrolan-obrolan yang tak berguna seperti itu, sama sekali tak bereferensi buku-buku, obrolan kosong yang hanya mengedepankan bualan.

Gua lebih senang membaca Dunia Sopi karya Justin Garder, buku-buku Tasauf dan Novel Ayat-Ayat Cinta. Bagi gua itu lebih berarti dari pada ngikutin sipat-sipat bodohnya anak-anak. Gua heran apakah mereka tak berpikir bagaimana masa depan jadinya?, apakah tuhan akan menjadikan mereka seorang pengemis, tukang becak, atau mucikari?. Seolah sama sekali tak ada kekhawatiran akan terjebak pada kemiskinan, atau hidup yang selalu menyusahkan orang lain.

Tidakah pula mereka merasa gersang dengan hatinya, padahal setiap hari mereka jauh dari mesjid, shalat duha, shalat lail apalagi saum sunah senin kamis. Padahal bagi gua, andai ritual-ritual syariat itu ditinggalkan, mampus lah sudah, hati gua gusar penuh dengan kekecewaan terhadap diri sendiri. Berbicara tidak terarah, dan hidup seolah tak mempunyai pegangan.

Kenapa gua merasakan hal itu dan terjebak pada rutinitas untuk menaklukanya, sementara mereka seolah tak merasakanya, mereka terlihat senang fuun dengan dunianya, padahal dunianya penuh dengan kemaksiatan.

Ada gejala yang salah kayanya, apa yang gua lakuin selama ini salah.

****

Udara pagi begitu sejuk terasa, gumpalan awan mengepul di langit pada titik-titik tertentu. Bila biasanya selesai baris-berbaris di depan kelas, seluruh santri bergeas menuju kelasnya masing-masing, untuk pagi ini tidak. Ruangan perpustakaan pesantren yang terletak di sebelah barat penuh sesak dikerubuti dari segal penujuru. Semua jendela satupun tak ada yang menyisakan tempat kosong.

“innalillahi”.

“subhanallah”.

Dua kalimat itu uterus-terusan terualang terucap dari siapapun yang melihat ke dalam perpustakaan. Apa yang terjadi di perpustakaan gua nggak tahu apa?, sama sekali gua nggak peduli apapun itu yang terjadi. Manusia ini memang mahkluk bodoh, bila ada satu yang dianggap aneh oleh seseorang, dengan sendirinya yang lain berjubel menggap apa yang dilihatnya sebagai sesuatu yang aneh juga.

Apa bedanya dengan binatang kalau seperti itu, ketika seekor macan terhenti saat melihat kijang, dengan sendirinya kelompok yang bersamanya terhenti pula. Semuanya memainkan feeling untuk menangkap kijang itu. Begitupun dengan Buaya, ketika seekor darinya menemukan bangkai Kuda Nil, yang lainya ikut mengkerubuti bangkai itu, bejubel berebut lahan mencari posisi enak supaya bisa ikut makan.

Manusia ini beda dengan hewan, harus mempunyai pegangan dalam bersikap. Ketika orang terheran dengan suatu keajadian, sebagai seorang manusia seharusnyalah tak usah mengikuti keheranan yang dirasakan orang lain, manusia harus mencari keheranan lain yang berbeda.

“Batu bagaimana kabarnya, ko kamu nggak ke perpustakaan yang lain kan pada kumpul di sana?”.

Seorang kaka kelas pengurus RG menyapa, bingung Gua harus berbuat apa?, membalas sapanya, itu nggak mungkin, gua sedang saum berbicara sebagaimana yang dilakukan ahli-ahli tasauf supaya hati bersih .Namun andai tak menjawabnya dengan hanya berdiam diri, Gua nggak sopan dan nggak pantas, dia kaka kelas gua dan satu daerah dengan gua.

Senyuman kecil yang hanya gua lakukan sebagai balasan atas sapaannya, tak berbipikir panjang Gua bergegas menaiki tangga menuju tangga berikutnya. Sedikit melirik ke belakang, gua ngeliat dia bengong dan menggelengkan kepala. Gua yakin otaknya sedang terperas, mungkin aneh dengan sikap Gua yang tak sopan padanya. Ternyata diawal takut berbuat nggak sopan, kini ketakutan itu hilang, yang ada justru sedikit senang karena telah membutanya terbengong menggelengkan kepala keheranan. Bagi gua ini prestasi, mampu membuat orang lain pusing dan kepusinganya itu tentunya melahirkan pertanyaan keheranan.

Masuk kelas gua sama sekali nggak mengucapkan salam, maunya mengucapkan salam, ini tradisi di kelas, tapi sedang saum berbicara jadi wajar kalau gua nggak mengucapkan salam. Awal masuk di belakang anak-anak terlihat beberapa orang sedang berbincang, sama saja tak di sini dan tak di situ, sibuk meneritakan kejelekan Rio yang mencoba melakukan bunuh diri di perpustakaan.

Bersambung Brow ini Novel Gua, doain moga selesai ya...!!!

Lidia Moskow


Di siang hari embun masih terasa, salju tanpa henti-hentinya bertebaran riang mengikuti rasa sakit hati yang menjadikan langkahku terombang-ambing seperti ini. Tatapan mataku yang kosong tidak mampu menepis bersitan cahaya mendung di tengah hari kesiangan.

"hai…Lidia……Lidia"

aku menyadari lembut memangggil-mangggil namaku, tapi hatiku berbisik "kenapa kau harus seperti ini ?",

bisikan itu terhenti tanpa aku inginkan, seolah hati berjalan mengikuti kemauan sendiri.

Setiap hari aku berjalan menyusuri troar halpas 70 Elgar, aku tak asing dengan suasana kota Moskow yang penuh dengan kerumunan orang-orang sibuk dan lalulintas padat dengan jalan bersalju.

"hai………Lidia……..Lidia…. Lidia..",

aku tahu tak baik aku bersikap seperti ini, mengacuhkan sapaan. Padahal dulu aku seorang yang ramah dan murah senyum, namun entah kemana sikap itu hilang bersama dedaunan Murbai yang terjatuh tak kuat menahan derasnya salju.

"Taxi….Taxi….", lambaian tanganku ajaib mampu menghentikan kecepatan kendaraan khas kota Moskow.

"Grad of strate dskrok stronger ?",

itu adalah sapaan sopan yang biasa terucap dari sopir Taxi penganut Nasrani Ortodox. Beda lagi dengan sapaan sopan sopir Taxi penganut paham Lenin ketika mempersilahkan penumpang untuk menaiki Taxinya. Mereka lebih suka mengucapkan sapaan dalam bahasa Jerman "laind doxor brizg stond". Tapi apa peduliku dengan sapaan mereka ini, aku tak suka sama sekali dengan sapaan mereka itu karna aku tak tahu bahkan benci dengan para penganut paham tertentu seperti mereka. Bagiku hidup ini berdiri sendiri tak terikat dengan dogma apapun.

Sungguh aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya apa yang kau anggap perlu untuk dipedulikan. Paham Marxis, itu dia yang selama ini aku cari, takan kubiarkan sungguhpun apa yang terjadi sebelum jasadku menyatu dengan kekuatan kepedulian Hendrich Karl Mark. Kusumpahkan dalam aura nadiku, aku benar-benar kagum dengan kepedulian hidup manusia setengah manusia, setengah jasadnya menyatu dengan kekuatan filsafat sehingga membawanya pada kehidupan abadi memperjuangkan ketidak adilan para penguasa.

Tatapan mataku menghentikan semua gemuruh nabiku, hanya Tiga Kilometer kenyataan akan menhadapiku.

"Pail Stret Prop Ofox polis snitz eineir", aku biasa mengungkapkan keinginanku dengan bahasa Swizerland. Di Moskow unik memang semua bahasa eropa kecuali Francis mudah untuk dimengerti siapapun juga.

"Not…Please, wait", pengertian driver yang keliatanya ber OOPS memutarkan lagu Sinozix, "when iam wraiting, she looks me by beautiful eyes". Lagu pavoritku menemani kedinginan perjalanan, tak henti-entinya driver menggelengkan kepala mengikuti alunan music melankolis khas eropa timur itu.

" plese stop….stop..", aku menghentikan laju Taxi tepat di depan benteng Kremlin yang akan menjadi jalur perjalananku menuju Universitas Moskow, mengingat kebijakan Gorbacep menempatkan fakultas Marxisme langsung bersentuhan dengan kantor departemen Proletar of Come Back.

"are you ready to wait the big filsuf ?". Aku heran, benar -benar tak menyangka dengan pernyataan yang baru saja telontar.

Di luar terlihat seorang laki-laki berjubah berjalan perlahan menatap ke dalam Taxi, aku semakin curiga dengan gerak - gerik merpati di sekeliling trotoar Simpul Bridge.

"jangan takut Lidia",

suara sinis dengan tatapan mata tak bersahabat terlontar dari depan, aku semakin ketakutan.

"jangan takut Lidia, percayalah padaku, aku ini sahabat filsufn besar yang selama ini kau jadikan pigur dan pengabdian dalam perjuanganmu menghilangkan kemiskinan…percayalah".

Rasa takut semakin menjalar menyusuri seluruh pori-pori kulit tubuhku, tak mungkin aku memberontak unttuk keluar, aku khawatir kejadian tiga bulan silam terulang, diamana aku benar-benar merasakan panasnya tembusan peluruh bersemayam dalam goresan kulitku. Aku terdiam mencoba menenangkan diri,

"kau ini sipa ?, kenap kau tau namaku ?". hatiku berbisik tuk bertanyata, tapi sayang itu hanya dalam hati, tak bisa kuucapkan dengan kat-kata, bukan aku tak mau tuk mengucapkanya, namun mulutku sulit tuk mengatakan kata-kata itu.

Driver berbalik menatapku dengan tatapan keraguan, matanya berkedip seolah memberikan isyarat dalam isyarat yang biasa dipakai dalam metode penarikan kesimpulan romantisme psikologi kaum urban dari jJerman. Seketika mataku sulit untuk ku buka terus, aku terpejam, sedikit tubuhku bergerak tiba-tiba suasana menjadi cerah. Elok rasanya aku bersimpu setengah berbaring di belakang sosok laki-laki tua berjubah dengan jenggot putih lusuh penuh dengan debu-debu percikan dari buku yang dipegangnya. Dia menatapku dengan tatapan tajam seolah ingin secepat mungkin membunuhku, wjahku tak bisa kusembunyikan namun gambaran ketakutan sekuat tenaga aku matikan dalam pancarnnya

Dari balik jeruji yang mengelilingi semua arah disekitarku terlihat tumpukan buku-buku lusuh beribu tahun umurnya. Aku sedikit hapal dengan kondisi buku, mengingat keasikan Marx meneliti tesis sebagai dalil untuk kehancuran perekonomian kapitalis menjadi motivasi kuat bagiku untuk bersahabat dengan berbagai usia buku.

"angkatlah wajahmu nak, kau manusia terpilih…kau manusia terpilih untuk melanjutkan ritual antar generasi dalam setiap abad untuk mengembangan….untuk mengembangkan filsafat keabadian namaku". Sapanya untuku berupa permintaan halus.

Suaranya aneh, berbeda dengan tatapan wajahnya, terdengar lembut serasa lembutnya saat aku menikmati sair - sair abad pertengahan. Bibirku berucap pelan, namun ucapanya tak keluar sama sekali hanya sedikit bergerak berat ke samping kiriri dan kanan

"hi..hi..hinakah aku mengabdikan hidupku untuk memujamu sebagaimana pemujaanya para penganut agama terhadap apa yang mereka sebut tuhan".

Suara itu hanya terdengar oleh diriku, tak mungkin walupun satu satu senti orang akan mendengarnya.

"jangn kau sebut tuhan dihadapanku, aku teramat benci denganya, kematian keluargaku cukup pahit untuk mengingatnya". Otak membawaku pada bisikan hati yang kedua, aku benar-benar bangga pahamnya telah menyatu dengan jiwaku.

Perlahan laki-laki tua mendekatiku dengan menggemgam secar kertas di kedua tanganya. Dia semakin menatapku dengan tatapan penuh keheranaan, mataku tak sanggup tuk beradu tatap dengan ketajaman matanya, seketika itu juga aku menundukan kepala mencari pandangan lain di hadapan wajahku.

******
Bersambung Brow Tunggu Aja