Kamis, 30 Oktober 2008

Mengenang Sahabat


Persahabatan adalah segalanya, sahabat dan diriku sama sekali tak terpisahkan, ia menyatu bagaikan dua keping mata uang. Siapa yang nggak sedih coba?, dalam sejuknya kebersamaan kenyatan berkata lain. Andai di dunia ini tak ada waktu mungkin aku dan sahabat takan pernah terpisah . Dengan jarak yang membentang diriku dipisahkan oleh kepualaun. Pulau jawa yang saat ini kupijaki, sementara sahabat semuanya menghisap udara di kepualaun Bima, sebuah pulau di mana dahulu aku dan sahabat menatap hari esok menuju jalan hidup masing-masing.

O ya, ada yang terlupakan kenapa aku menghisap air mata demikian, dahulu aku layu, sekarang pun demikian, aku layu juga. Bukan karena aku sekuntum bunga dari tumbuhan, tapi karena aku sedang teringat akan kenangan manis di saat sahabat menatapiku, mengejeku dan mengata-ngatakan kalau aku seoarang anak manis keturunan Mongolia. Aku tahu, mereka bukan membenciku, mereka bukan menganggapku beda dengan kebanyakan orang biasanya. Aku tahu betul, ejekan mereka bukanlah cercaan melainkan pujian atas kekeguman kulit putih yang terpancar dari semenanjung tubuhku.

Sayang bila kau tak melanjutkan membaca cercahan cerita anatara aku dengan sahabat, mungkin kau takan kehilangan sesuatu tapi percayalah apa yang akan aku kisahkan ini, sungguh akan menjadi kenangan berharga untuk dirimu melangkah menju perasahabatan dengan sesama, baik itu seorang yang berketurunan Afrika, Andulisia atau bahkan Nigeria.

Aku yakin kau tahu, satu hari sebelum ini adaah hari sumpah pemuda, mendengar tanggal 28 Oktober sama dengan mendengar seoarang motivator meneriakan yel-yel supaya dirku bangkit untuk bersahabat dengan siapa pun. Mario Teguh, dialah motivator yang ku maksud, ditinya sam dengan tanggal 28 Oktober. Persahabaatn terlambang dari dua teks ini, baik teks berbentuk manusia maupun terks berbentuk penanggalan. Siapa yang tak berkenan untuk besahabat, menegnang kebaikan sahabat dan berusha melupakan kesalahan yang dilakukan sahabat, maka bagiku dirnya bukan seoarang bijak yang tahu makan tanggal 28 Oktober sebagai bentuk lain dari seorang Mario Teguh.

Rabu, 15 Oktober 2008

Mendebat Tentang Teks*


Pertama kali, untuk menanggapi sumber data yang ada padaku dalam penulisan peristiwa 24 Juni di Jakarta, maka pertanyaanya, apakah teks sebagai data itu hanya berlaku bagi teks tertulis ataukah perkataan dan percakapan keseharian dan media audio visual bisa dikatakan sebagai teks?.

Pertaanyaan ini menggangguku pada saat ini. Di satu sisi kebiasaan orang dari kalangan mahasiswa UIN Kalijaga atau di Komunitas Ruang Tengah biasa mengatakan terhadap tulisan yang ada sebagai teks. Semisal ungkapan yang dilontarkan sodara Imam mahasiswa Tafsir Hadist UIN Yogayakarta, dia mengatakan “kalangan tradisionalis agama, selalu memahami teks, baik al-qur’an ataupun hadist dengan tanpa melihat konteks. Sehingga pemahaman yang munculnyapun akan mengikuti literal yang berbunyi dari teks itu sendiri”. Aku memahami Imam mengatakan teks di sini adalah berlaku bagi sesuatu yang tertulis, yaitu al-qur’an ataupun hadist. Bahkan di sisi lain tulisan-tulisan penjelasan terhadap hadist atapun al-qur’an seferti karya tafsir dan sejarah, itupun dikatakan oleh Imam sebagi teks.

Tidah jauh berbeda dengan Imam, Mirza aktivis IMM Fisip UMY memahami teks demikian adanya sebagaimana pemahaman Imam. Aku memperhatikanya dari perkatanyaa seperti ini “pemahaman terhadap teks seharusnya dipahami secara kontekstual”. Dr. Azhar dosen FAI UMY memahami tekspun demikian adanya. Dia mengungkapakan “kalangan tekstual memahami sesuatu dengan menyandarkan pada kekhususan lapad (teks) tidak pada keumumuman sebab, sementara kalangan kontekstual sebaliknya memahami sesuatu dengan menyandarkan pada keumuman sebab bukan pada kekhususan lapad”.

Berbeda dengan Imam, Mirza dan Dr. Azhar, Ustad Safwan pegiat di yayayasan Ahlul Bait RaysyanFikr berpendapat, menurutnya teks itu tidak hanya pada sesuatu yang tertulis. Baginya teks lebih dari pada yang hanya tertulis saja, selain dari pada yang tertulis baik itu perkataan dan perbuatan adalah teks itu sendiri. Hal ini Aku pahami dari perkataanya dalam menjelaskan Filsafat Agama. Dia mengatakan perkataan yang diungkapkanya mengenai penjelasan apapun itu adalah sebagai teks.

Aku terganggu dengan kejanggalan-kejanggalan ini, sebetulnya yang dikatakan teks itu yang tertulis saja atau perkataan dan perbuatan juga bisa dikatakan sebagai teks. Aku melihat Imam, Mirza dan Dr. Azhar, mereka mengatakan teks sebagai sesuatu yang tertulis karena didasarkan pada adanya keberadaan pengarang, kondisi disaat pengarang menulis, tulisan dan pembaca. Bagi mereka seandainya komponen-komponen itu ada, maka itulah teks. Sementara Safwan tidak hanya terfokus pada komponen-komponen itu, apapun yang bisa menjadi pelantara antara a person dengan enother person dalam menghubungkan suatu gagasan itu juga dikatakan sebagai teks.

Aku lebih setuju dengan Safwan dalam kebutuhan untuk menuliskan peristiwa tanggal 24 juni di Jakarta. Seandainya yang dikatakan teks itu hanyalah tulisan maka tulisan yang akan aku tulis tentang peristiwa 24 Juni sama sekali tidak bereferensi teks. Mengingat dalam minggu-minggu di saat peristiwa terjadi sama sekali aku tidak membaca tulisan-tulisan dari media cetak nasional ataupun Internet. Bila memakai pemahaman terhadap perkataan Safwan maka tulisanku ini berbasis referensi teks karena pemahamanku sebagai enother person (pemerhati berita) dari one person (penyaji berita) di media elektronik bisa juga dikatakan sebagai teks. Penglihatan mataku terhadap peristiwa anarxisme yang dilakukan para aktivis Tali Geni itu juga sebagi teks.

Perlu kiranya akupun sedikit menggugat terhadap penggunaan bahasa teks terhadap al-qur’an. Mirza, Imam, Dr. Azhar dan Safwan mengatakan atau biasa mengatakan al-qur’an sebagai teks, termasuk Fahd. Bagiku itu rancu, karena teks itu ada pengarangnya, kondisi di saat mengarang, ada tulisan dan pembaca. Bagi al-qur’an pembaca ada. Sementara pengarang, kondisi dan tulisan, sangat rancu untuk dibayangkan sebagaimana bayangan kita terhadap keberadaan teks-teks biasa ketika dikarang oleh pengarang. Sebetulnya gugatanku ini secara langsung ku ungkapkan terhadap Mirza dalam diskusi di Komunitas Ruang Tengah, dia menjelaskan penggunaan bahasa teks terhadap al-qur’an baginya hanya sekedar pemakain kata teks saja, karena tidak ada kata lain yang enak olehnya untuk digunakan, bukan bermakna sebagaimana kekhawatiranku.

Coba untuk diresapi pertanyan berikut ini, apakah tuhan bisa dikatakan sebagai pengarang dalam penulisan al-qur’an?, seandianya tuhan dikatakan sebagi pengarang dalam penulisan al-qur’an sebagaimana penulis-penulis lain menuliskan sebuah tulisan, di sinilah terjadi penyederhanaan (bukan sederhana dalam pengertian filsafat) terhadap tuhan itu sendiri. Bukankah tuhan itu adalah setiap keberadaan itu sendiri, tuhan tidak bisa dibayangkan sebagai penulis yang menuliskan sesuatu dalam suatu kondisi tertentu. Bila penulis memegang pena untuk menuliskna Sesuatu maka apakah itu akan diberlakukan bagi tuhan dengan menyebutkan al-qur’an sebagai teks?.

Penulis menuliskan Sesuatu didorong oleh kondisi yang melatar belakanginya, semangat Marx dan Adam Smith misalkan dalam tulisan yang dilahirkan tentu akan berbeda, karena kondisi keduanya berbeda pula. Kondisi atau situasi di saat tulisan dilahirkan maka sangat berpengaruh terhadap tulisan (sebagai teks). Apakah kondisi yang melatar belakangi tulisan ini berlaku bagi tuhan bila memang diktakan al-qur’an itu sebagai teks. Kondisi apakah yang melatar belakangi tuhan dalam menuliskan al-qur’an. Atau kondisi yang dimana yang melatar belakangi penulisan al-qur’an oleh tuhan itu. Kondisi di Lauhil Mahfudz sana atau kondisi di saat Muhammad menerima wahyu. Bila Imam dari perkataanya selalu menyandarkan kondisinya itu pada peristiwa di saat wahyu turun dengan kesepakatan bahasa sebagai as-babbunnuzul, maka pertanyaanya apakah penulisan al-qur’an oleh tuhan itu saat turunya atau di lauhil Mahfudz sana yang tidak terbayangkan oleh indra?.

Bila tetap al-qur’an dikatakan sebagai tulisan (teks yang dipahami sebagai sesuatu yang tertulis), bukankah al-qur’an sebagai teks yang kita dapakan saat ini hanyalah mushap. Tidak berbentuk demikian ketika qur’an di wahyukan Jibril kepada Muahmmad. Bila yang dimaksud teks sebagai al-qur’an hanya mushap yang didapatkan, bagiku tidaklah ada persoalan, tapi coba perhatikan juga al-qu’an di masa pewahyuan yang belum berbentuk mushap. Ia sama sekali tak terbayangkan berbentuk apakah itu, bulat, bergerigi atau tulisan bergelombang. Menurtuku inilah kerancuan yang ada bila al-qur’an diktakan sebagi teks, ayat lebih tepat untuk disebutkan untuknya supaya sakralitas tentang al-qur’an itu sendiri tidak hilang menjadi sederhana sebagaimana pemahaman terhadapa teks-teks biasa buatan manusia.

* wilayah kajian Filsafat Hermeneutika tanpa berbasiskan referensi teks