Minggu, 17 Mei 2009

Ilmu-Ilmu Aneh

“Saya jadi heran, kenapa yang harus diujikan dalam Ujian Nasional dulu adalah tes kecerdasan logika-matematika dan kecerdasan bahasa (liguistik). Padahal tak semua bus di terminal ini menuntut kecerdasan logika-matematika atau linguistik. Jurusan Desain misalnya, jelas menuntut penumpangnya memiliki kecerdasan ruang. Atau jurusan musik yang menuntut kecerdasan musik dari para calon penumpangnya”.

(Immawan Fahd Djibran Dalam Buku Insomnia Amnesia)

Ketika membaca penggalan kalimat di atas saya merasa tidak percaya dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Ko bisa-bisanya apa yang dahulu saya rasa mengherankan ternyata Fahd juga merasakan hal yang sama. Baru kali ini saya tahu Fahd menuliskan keherananya itu. Perkenalan saya dengan Fahd pun baru kali ini juga semenjak menginjakan kaki di dunia kampus, UMY, terutama IMM. Memang dulu saya tahu namanya dari cerita seorang penulis buku “Filsafat Untuk Umum” yang saya temui di Garut. Tapi saya belum pernah bertemu dengan Fahd kecuali saat ini, saya tidak mengenali wajahnya kecuali saat ini juga. Apalagi saya bisa menyelami nalarnya, itu sesuatu yang tidak mungkin.

Saya merasakan kejanggalan ketika mengikuti ujian SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru) di sekolah BPK Penabur Jl.Pasir Kaliki Bandung. Ketika saya dihadapakan pada soal-soal ujian tiba-tiba terbersit dalam fikiran saya, “ko soalnya kaya gini ?, pilihan saya kan Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara, keduanya masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tapi pertanyaanya satu pun tidak ada yang bersangkut paut dengan masalah-masalah politik. Kenapa pertanyaanya malah soal-soal matematika dasar, Sejarah, dan teori-teori ekonomi akuntansi yang saya benci?”. Dengan penuh kekesalan dan keyakinan tidak akan lulus SPMB saya mengerjakanya asal-asalan, sesekali saya menghitung kancing kemeja baju untuk mencari jawaban A, B, C, D, atau E.

Saya benar-benar tidak suka dengan ekonomi akuntansi, sejarah, dan matematika dasar. Semuanya terasa membosankan, lebih baik saya membaca Koran dari pada mempelajari pelajaran-pelajaran itu. Sebelumnya saya yakin dengan wawasan yang saya miliki saya bisa untuk belajar ilmu politik di Universitas Negri. Setiap hari saya membaca Koran, sebelum menginjakan kaki di Universitas pun saya sudah kenal dengan Efendi Ghazali, Adrianof.A.Chaniago dan Arbi Sanit. Tulisan-tulisan meraka menjadi makanan saya sehari-hari, kritik-kritik tajam sering terlontar dari mereka untuk pemerintah. Saya pun tertarik dengan ilmu politik, terkhusus komunikasi politik dari mereka. Niat saya tulus ingin mempelajari ilmu politik, ingin menjadi penulis lepas untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak baik.

Ketika pulang dari BPK Penabur kembali pikiran saya terkejut. Teman-teman semuanya sedang berdiskusi tentang susahnya soal SPMB yang tadi keluar. Ternyata soal yang sedang mereka diskusikan sama dengan soal yang saya kerjakan. Padahal pilihan universitas, fakultas dan jurusan kami berbeda-beda, ada yang Hukum, psikologi dan Seni Musik. Saya semakin heran, ko bisa, soal untuk yang memilih komunikasi sama dengan yang memilih ilmu hukum dan seni. Kenapa bisa-bisanya begini. Buat apa soal sejarah, matematika dasar dan ekonomi akuntansi itu ditanyakan, bukanya ilmu komunikasi, ilmu hukum dan seni tidak ada hubunganya sama sekali dengan mata pelajaran yang diujikan itu?.

Kalau sistemnya begini terus bakat-bakat yang dimiliki anak-anak seusia saya pasti semuanya tidak akan berkembang, terpenggal oleh sistem pendidikan yang tidak dimengerti oleh peserta didik arahnya ke mana. Bakat saya di dunia politik tidak seberapa, cuma pernah mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. Sementara bakatnya si Divsi bagaimana? Dia punya skill dalam bermain gitar, suaranya bagus beberapa kali pernah juara dalam lomba nyanyi di sekolah. Tapi cita-citanya kandas untuk belajar di jurusan seni musik, mata pelajaran dari soal ujian SPMB sama musuh dia juga.

Sialan sudah, kalau seperti ini universitas apa pun yang mau menerima orang bodoh, pemalas, musuh dari mata pelajaran-pelajaran tertentu akan saya pijaki. Tapi saya berpijak tidak dengan harapan yang menggebu, malas harus menyandarkan pada sesuatu yang naïf berbentuk bangunan megah. Bangunan megah yang tak memperkenalkan Filsafat secara menyeluruh, Tasauf, Hermeneutika, dan ilmu-ilmu aneh lainya. Padahal bagi saya banguanan ilmu-ilmu yang dianggap aneh ini sangatlah penting, ia adalah pondasi semangat perubahan untuk menentang kemapanan yang dzalim. Ilmu itu tidak terbatas hanya berada dalam lingkaran formal, ilmu ini luas, bisa belajar dari siapa pun termasuk dari seorang pelacur sekalipun, sebagaiamana Siddhartha belajar cinta dari Kumala, kesederhanaan dari para samana, dan belajar kehidupan dari aliran air sungai hingga ia sampai pada puncak kebijaksanaan tertinggi, yaitu Om. Wallahu a’lam.

Ajaran IBu

Assalamualikum.

Obit sahabatku, lama sekali kita tak saling menyapa. Kau sibuk dengan kuliahmu, begitupun aku tak jauh beda denganmu. Tapi aku yakin, hobimu tidak akan berubah, masih senang menikmati ruas-ruas jalan kota Bandung di malam hari, masih senang mengencangkan gas di tengah kerumunan angkot di jalan Pasir Kaliki dan Astana Anyar. Tak masalah bila itu bisa menghilangkan kepengapanmu, sebagai sahabat aku ikut mendukung semoga kau menjadi pembalap sungguhan seperti cita-cita yang kau inginkan.

Malam ini aku ingin berbagi kisah denganmu. Aku ingin mengeluh tentang suatu hal kepadamu. Simaklah baik-baik, aku yakin apa yang aku keluhkan ini kamu pun akan merasakannya, karena aku tahu betul bagaimana kamu, bersahajanya keluargamu, ibumu, ayahmu, dan juga nenekmu. Kalian adalah keluarga percontohan di antara kekacauan keluarga-keluarga yang berada di sekitar Babakan Bandung. Mereka rusak oleh kekuatan modernitas yang diajarkan actor-aktor kesesatan Tegal Legala.

****

Bit, kalau nggak salah kau takut betul dengan Ulat, sebetulnya aku tahu kau bukan menakutinya, hanya jiji saja melihatnya. Aneh badanmu kekar, sembada, atletis walaupun tidak terlalu bila dibandingkan dengan Oval.

Kakaku hampir mirip denganmu, dia teramat takut sama Cacing, andai melihatnya pastilah dia akan teriak. Pernah suatu waktu dia sedang makan di kebun, kebetulan saat ayah mencangkul ternyata ada Cacing tanah yang terangkat oleh cangkul, seketika itu juga kakaku menghentikan makannya, dia muntah. Padahal bagiku biasa-biasa saja, sama sekali tak berpengaruh apa-apa.

Beda dengan nenekku dari ayah. Dia sama persis denganmu, takut sama Ulat. Andai ada Ulat terlihat olehnya, sudah dapat dipastikan dia akan teriak ketakutan. Wajahnya yang keriput akan semakin keriput. Begitupun tubuhnya, menggigil ketakutan. Aneh padahal dia Cuma melihat saja, Ulat sama sekali tidak berbuat apa-apa padanya. Pernah suatu waktu saat kami sedang memetik sayuran di depan rumah, Ibuku melihat ada Ulat di kerudungnya. Dengan perlahan ibu menggambilnya, neneku awalnya tidak sadar kalau di kerudungnya ada Ulat. Namun sayang strategi ibu tidak tepat, dia malah minta ijin sama nenek untuk mengambilnya. Seketika itu juga nenek lari terbirit-birit, menakutkan, seperti orang yang sedang kesurupan.

Aku yakin dengan seyakin-yakinnya, setiap orang mempunyai ketakutan terhadap sesuatu, baik binatang, makanan, atau selain dari keduanya. Ada yang takut terhadap Kucing, ada yang takut terhadap Burung, dan ada juga yang takut terhadap Tikus.

Ada yang alergi sama bawang, ada yang membenci mie, bahkan ada yang ketakutan bila melihat nasi, seperti anak tetanggaku. Dari kecil makannya mie, kalau diperlihatkan Nasi pastilah dia akan menangis. Dan itu adalah kerjaaan ibuku, dia terkadang iseng, menawarkan nasi padanya.

****

Mungkin saat ini giliranku.

Sudah waktunya aku menceritakan binatang apa yang aku takuti. Baiklah Bit aku akan menceritakannya padamu. Sekalipun aku yakin, pastilah kamu masih ingat binatang apa yang paling aku takuti itu.

Sebetulnya sama sekali aku tidak menakutinya, hanya saja entah kenapa setiap kali berhadapan dengan bintang itu nyaliku selalu menciut. Tadi sepulang main futsal di jalan Parang Tritis, aku dan teman-temanku sengaja memilih jalan-jalan kecil, kami tidak memilih jalan raya, soalnya temanku semua tak memakai helem. Andai melewati jalan raya, pastilah bila berjumpa dengan polisi kami akan ditangkap.

Di tengah-tengah himpitan rumah-rumah yang berarsitek dan bertekstur perkotaan, seekor Anjing menghalangi jalan yang akan ku lalui. Temanku memainkan Anjing itu, mengajaknya bercanda, dia berharap supaya Anjing itu mengejar kami.

“Eeeeh jangan, jangan, aku takut.” Aku memintanya supaya membiarkan Anjing itu pergi. Tapi dia malah semakin menjadi, memelototi Anjing itu tak hentinya, sambil mengelurakan bunyi-bunyi ejekan dari mulutnya. Dan syukurlah Anjing itu pergi, masuk ke salah satu gerbang pintu rumah.

“Kenapa kau takut dengan Anjing?” Temanku merasa perlu untuk menanyakan hal itu kepadaku.

Sama halnya ketika aku merasa perlu untuk menanyaimu kenapa takut sama Ulat. Dan kamu kebingungan untuk menjawab, kenapa kamu takut sama Ulat. Sama sekali kamu tak memahaminya. Makanya aku hanya membiarkanmu gelagapan dalam kebingungan.

Ternyata Bit setelah aku renungkan aku tahu kenapa aku takut sama Anjing. Saat masih kecil ibu menceritakan padaku, kalau dulu saat dia masih SMP pernah digigit Anjing. Karenanya ibu harus disuntik sebanyak 6 kali di sekitar pusarnya, untuk menghindari penyakit rabies yang ditularkan Anjing. Cerita itu selalu diulang-ulang oleh ibu, baik sebelum tidur, ataupun saat aku bersenda gurau dengannya. Sekalipun diulang-ulang aku sama sekali tak merasa bosan, cerita pertama kalinya sama menariknya dengan cerita berikut-berikutnya, aku selalu sigap dalam mendengarkannya.

“Anjing itu menularkan penyakit rabies, awas hati-hati!” Akhir dari serita ibu pastilah selalu diakhiri dengan peringatan itu. Cerita itu sangat membekas di kepalaku. Mungkin karena ibu terlalu sering menceritakannya.

Karena ajaran ibu itulah aku menjadi takut sama Anjing, setiap kali melihat Anjing pastilah kepalaku merunduk, nyaliku dibutak kecut. Seandainya aku melewati suatu rumah yang di depannya dijaga oleh beberapa Anjing pastilah aku akan menunggu orang lain, sampai akhirnya aku bisa berbarengan dengan didampingi orang itu.

Pernah suatu waktu aku terjebak di antara himpitan jalan kecil yang diapit oleh beberap rumah. Jalan itu hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Ternyata aku dihadapapkan dengan seekor Anjing dari arah berlawanan yang sama hendak melewati jalanan itu. Kata Ibu kalau ada Anjing jangan lari, seandainya kita lari Anjing akan mengejar kita. Teringat nasihat itu sekalipun aku ketakutan tetaplah aku berusaha tegar untuk tidak lari. Warna Anjingnya hitam, dan itu yang membuatku lebih takut lagi. Masih terekam diingatan, Anjing yang menggigit ibu dulu hitam juga warnanya.

Anjing semakin mendekatiku, matanya tajam melihatku, sementara mulutnya mengeluarkan liur dengan lidah menjulur ke depan. Terlihat taring giginya begitu tajam. Sekuat tenaga aku berusaha membernaikan diri. Aku yakin posisku dan Anjing itu sama. Aku takut sama dia, bagitupun sebaliknya Anjing itu nampak ketakutan juga olehku. Kata ibu kalau sama Anjing jangan memperlihatkan kita ketakutan, tapi harus pura-pura menunjukan keberanian, sekalipun sebetulnya kita takut.

Untuk menunjukan keberanian aku menatap matanya yang menyorot ke arahku, dan terjadilah pertemuan sorotan matanya yang tajam dengan sorotan mataku. Wajah ku setting seganas mungkin, supaya Anjing itu lari. Dan “Wah…..hhhhh” Aku membentaknya, seolah ingin menerkamnya. Namun ternyata Anjing itu malah berbalik ingin menerkamku, sama sekali tanpa ku sangka sebelumnya. Seluruh tubuhku tiba-tiba lemas, tak sadarkan diri, aku lari sekencang mungkin, terbirit-birit sampai sandalku terlepas.

Dari sejak itu aku semakin takut sama Anjing. Lebih baik aku harus jalan kaki sejauh 1 kilometer dari pada harus menaklukan seekor Anjing.

****

Dalam makanan aku sangat benci sama yang namanya seledri, pastilah saat aku makan bubur ayam, atau bakso selalu berpesan supaya jangan pake seledri. Aku tak tahu kenapa aku begitu membencinya, enggan mencobanya, dan tak mau untuk mengakhiri rasa sebalku sama seledri ini.

Dulu kalau aku berkunjung ke rumah nenek dari ibuku, pastilah ibu selalu mengajakku dan kakaku untuk makan bakso. Ada yang khas dari makan baksonya ibu. Dia selalu berpesan sama pedagannya supaya jangan pake seledri. Kemudian dia menanyaiku dan kakaku.

“Pake seledri nggak?” Tanya ibu, dan seketika kami kompak menggelengkan kepala. “Jangan, seledri itu nggak enak, bau!” lanjut ibu, dan itulah yang tertanam dalam benaku dan kakaku. Tidak hanya satu kali, tapi berulang-ulang, tidak hanya saat makan bakso, begitupun saat dihadapkan pada sayur suf, pastilah ibu selalu tak mau untuk memakan suf yang memakai seledri. Aku dan kakaku kompak juga, mengikuti kebiasaannya ibu.

Hal lainnya ibu sangat membenci Ikan yang dipelihara di kolam. Pastilah ibu takan pernah mau bila disuruh untuk memakannya sekalipun dia diberi hadiah sebesar apapaun. “Jorok, ih, makan ikan dari kolam!” Ibu selalu mengatakan seperti itu. Maklum kebanyakan kolam di tempatku—sekalipun tidak semua---suka dipakai buang air besar, makanya ibu bilang jorok, karena makanan Ikan itu adalah kotoran manusia. Tapi sekalipun Ikan berasal dari kolam yang tidak dipakai untuk buang air besar, ibu tetaplah tak mau untuk memaknnya. Beda halnya dengan Ikan yang ditangkap dari sungai, ibu mau untuk memakannya, padahal jenis Ikannya sama-sama Ikan tawar.

Kembali kebiasaan ibu yang ketiga ini tertanam dalam pola pikirku dan kakaku. Kaka dan aku nggak suka bahkan benci sama Ikan air tawar, hanya ayahku yang menyukainya. Bahkan terkadang aku lebih baik tidak makan bila lauk yang tersedia hanya Ikan air tawar. Dan itu yang dilakukan oleh ibu, sama juga dengan kakaku, seperti itu juga.

Betapa mendalamnya ajaran-ajaran yang telah ibu contohkan kepada kami.

****

Dari sejak kecil ayah selalu menanyaiku, sudah cuci kaki atau belum? Ketika aku hendak tidur. Dan pastilah dia akan mengajaku untuk mencuci kaki, bila aku menjawab belum. Setiap malam pastilah selalu melakukan hal yang sama. Terkadang aku berbohong sama dia, dengan mengatakan “Udah” padahal sebetulnya belum. Dan seketika kakaku akan berteriak, dia mengatakan sama ayah kalau aku belum mencuci kaki. Karenanya aku marah sama dia, begitupun sebaliknya dia tak mau kalah denganku dan jadilah kami berdua bertempur, sampai akhirnya salah satu di antara kami ada yang menangis.

Urusan cuci kaki ayah yang mengurus.

Sementara ibu mengurusi doa sebelum tidur. Dia membimbingku supaya membacanya, setiap malam. Saat ibu sedang sibuk dengan pekerjaannya untuk merekap nilai-nilai hasil ulangan dan aku dimakan kantuk di sampingnya pastilah ibu akan menggoyangkan badanku bila aku ketiduran.

“Baca doa dulu, falaq binnas, dan qul hua Allah!” Pintanya, kemudian dia melanjutkan kembali pekerjaannya. Maksud dari falak itu adalah surat al-Palaq, binnas surat an-Nas dan qul hua Allah adalah al-Ikhlas. Kata ayah dengan membaca ketiga surat itu aku akan terhindar dari kejahatan baik yang dilakukan oleh manusia ataupun oleh yang selain manusia.

Ibu juga paling melarang bila aku meminjam sesuatu kepada orang lain. Apalagi dalam urusan uang, itu paling tidak boleh dari ajaran ibu, “Jangan dibiasakan meminjam uang.” Jelasnya. Pernah suatau waktu aku mengenakan baju yang tidak dikenali ibu, “Baju siapa itu?” Ibu menanyaiku, aku pun menjelaskan padanya kalau aku tukaran pakai sama teman. Wajah ibu seketika cemberut, “Jangan diulangi lagi, kali ini ibu maafkan.” Dan sampai saat ini hal itu selalu aku pegang. Berusaha sekuat tenaga supaya nggak minjam uang sama orang lain dan memakai barang milik orang lain.

****

Saat masuk Sekolah Dasar aku sudah bisa membaca, begitu juga al-Qur’an aku sudah Iqra 6 dan sebentar lagi berpindah ke al-Qur’an. Di kelas karenanya aku dianggap yang paling siap untuk sekolah di antara teman-teman yang lain. Sekalipun memang gurunya juga Ibuku.

Bila sampai di rumah ibu selalu mengecek PR-ku, membimbingku sampai aku bisa mengerjakan sendiri. Aneh kenapa ibu selalu menanyai PR padaku padahal di sekolah yang memberikan PR-nya pun dia. Kemudian setelah PR selesai aku dibimbingnya membaca, bacaan paforitku adalah cerita-cerita anak, seperti tentang Bebek yang sombong, Kancil yang berhasil menyelamatkan diri dari Buaya dan kisah Kura-Kura, tentang Monyet yang melakukan kelicikan padanya.

“Pengen didongengin..!” Aku meminta ibu supaya mendongeng setelah aku selesai membaca. Dengan senang hati ibu akan mendongengkan cerita lucu padaku. Ibu lucu, pastilah dongengnya dibuat main-main, kisahnya dirubah sampai aku tertawa. Terkadanga merengeng, dan memukul-mukulinya, karena dia membuatku penasaran dengan megehentikan kisahnya sebelum berakhir. “Bersambung.” Katanya, “Besok dilanjutin” lanjutnya lagi. Aku memaksanya untuk melanjutkan, sambil tertawa-tawa ibu akhirnya menceritakan akhir dari kisahnya.

Ada juga ketika aku main kelereng atau layangan sama teman-temanku, pastilah hal pertama saat aku pulang ke rumah ibu akan bertanya, “Sudah shalat belum?” bila aku menggelengkan kepala dia akan bilang “Bagus yah, main kelereng terus, shalat dulu.” Atau terkadang sebaliknya, aku dilarang bermain sebelum shalat, setelah aku shalat barulah aku diijinkannya untuk bermain.

****

Bit, ternyata sekarang aku baru paham, apa yang diajarkan ibu kepadaku adalah apa yang diajarkan nenek sama ibu. Dan itu sangat tertanam pada diri ibu. Begitupun apa yang diajarkan ibu kepadaku, sangat tertanam dalam keseharianku, aku menjadi terbiasa karenanya. Aku sampai sekarang tak berani meninggalkan shalat, sekalipun kalau lalai iya. Baca doa iya, cuci kaki iya juga. Begitupun dalam ketakutanku sama Anjing, aku masih takut, seledri aku nggak suka, tapi nggak seextrim dulu.

Adapun Ikan sekarang aku sudah berani untuk memakannya, dulu aku nggak berni makan Ikan air tawar kecuali Ikan dari sungai. Dalam urusan Ikan, aku pernah dihadapkan pada situasi saat aku lapar, dan tak ada apapun sebagai lauk kecuali Ikan, terpaksa aku memakannya, ternyata Ikan air tawar itu enak, dari saat itulah aku berani untuk memakan Ikan air tawar.

***

Sebagai akhir dari suratku untukmu Bit, dari semua cerita yang aku kisahkan, sebetunya aku hanya ingin membenarkan sebuah statement yang mengatakan bahwa “Guru yang terbaik untuk anak-anak adalah ibu, karena Ibu adalah guru pertamanya.” Dia yang mengajari cara makan, minum dan sebagainya. Anak akan selalu melihat prilaku ibu, bila ibu melakukan A maka dia akan mengikutinya, begitupun saat ibu tidak mau untuk melakukan B maka anak akan mengikutinya juga.

Kemarin aku ditanya sama salah seorang guruku, Mis Morra Quatro “Tipe perempuan seperti apa yang ingin kamu nikahi?” Tanyanya. Tanpa sungkan dan tanpa canggung aku langsung menjawabnya “Seperti ibuku” jawabku dengan mengisahkan beberapa hal yang istimewa dari ibu secara singkat.

Memang kita masih muda Bit, umur kita masih 19 tahun, tapi tanpa bisa dipungkiri suatu saat kita akan menikah. Melihat pergaulanmu yang terlalu over terhadap perempuan, sebagai sahabat aku hanya ingin berpesan saja. Andai kamu memilih calon pendamping hidupmu jangan perempuan-perempuan yang selama ini sering kamu ajak berkencan. Ingat Bit, kita akan punya anak, anak kita akan baik andai yang mendidiknya adalah ibu yang baik, tapi anak kita akan jelek akhlaknya bila ibunya tidak bisa menjadi guru pertama yang baik untuk anak kita.

Bayangkan Bit, andai kelak pendamping hidup kita jauh dari nilai-nilai yang diajarkan al-Qur’an, aku sudah dapat bisa memastikan, anak kita akan jauh juga dari nilai-nilai qur’ani. Andai ibu dari anak kita seorang yang terbiasa makan dengan tangan kiri, atau makan sambil berdiri, anak kita akan menirunya, anak kita akan mencontohnya.

Tapi sebelum kita mencari calon istri yang terbaik untuk mendidik anak-anak kita, kelak. Kita juga harus tahu diri, kelak harus menjadi ayah yang terbaik untuk anak-anak kita. Kita harus sudah mempersipkannya dari sekarang. Kapan-kapan aku ingin menginap lama lagi di rumahmu. Ayahmu begitu mengagumkan, ibumu juga, keduanya bersahaja, sekalipun terkadang aku malu dengan kedua orang tuamu. Kerjaanku hanya berdiam diri di kamar, nonton televisi dan main game menemani adikmu.

Sampai ketemu akhir ramadhan Bit, insyallah aku akan ke Bandung bulan itu.

As-salamualaikum.

NB: Minta saran bagaimana supaya aku nggak takut lagi sama Anjing!