Kamis, 14 Agustus 2008

Kamaswami


“Menulis itu baik, berfikir lebih baik, kepintaran itu baik, kesabaran lebih baik”. (Kamaswami)

Kalau mau study tour atau study banding pasti semua anak-anak pada ribet buat nyari Kodak, ada yang biasa ada yang digital, pokonya beraneka ragam. Tujuanya sebetulnya semuanya Cuma satu, ingin mengabadikan momen indah dalam perjalanan. Setiap ada pemandangan indah pasti gambarnya diambil, yang lucu itu kalau memotret benda-benda antic seperti patung, bangunan tua kaya museum Asia Afrika di Bandung. Semuanya berjejer, sementara benda antiknya kecil, jadinya bukan benda antic yang terambil gambarnya, yang kelihatan di poto malah anak-anak, semantara benda antiknya terhalang.

Begitu pun dipoto di depan museum, semuanya bejejer nggak ada satu pun yang tidak terambil oleh poto. Pas dicuci cetak gila tak ada staupun poto yang terambil museumnya, yang terlihat anak-anak saja berjejer dengan sejuta ekspresi. Ada satu yang terlihat museumnya, itu juga Cuma gentengnya aja. Maklumlah kami orang Indonesia, lebih mementingkan gambar pribadi ketimbang benda-benda yang unik, artepak, museum atau benda-benda kuno lainya. Beda dengan orang-orang Bule yang kami temukan waktu di Candi Borobudur. Mereka sama sekali tak mempoto dirinya, poto-poto itu dibuang begitu saja kalau bagi kami, yang mereka poto murni hanyalah patung-patungnya saja. Tanpa mereka berdiri berjejer di depanya, sebgaimana yang kami lakukan.

Ada cerita yang unik, waktu study tour ke Boska di Lembang Bandung. Sehabis tour Pak Sawaludin ngeyel terus di kelas, dia kecewa sama anak-anak , terutama seksi dokumentasi. Melihat album hasil study tour nggak ada satu pun yang gambarnya teropong bintang, bangunan Boska atau paling tidak satpam saja penjaga Boskanya. Semua poto penuh dengan poto anak-anak, ada yang main gitar, berjejer di depan bus, itu yang paling mending karena terlihat tulisan di busnya “Rombongan Study Tour”. Ada juga poto anak-anak yang lagi bercanda bersenda gurau. Pak Sawaludin bingung, bagaimana dia harus laporan sama kepala sekolah, tak ada satu pun poto yang bisa ditunjukan untuk dijadikan dokumentasi.

Lebih parah lagi waktu perjalan pulang dari Bumi Perkemahan Ci Bubur Jakarta. Di jalan tol Ci Pularang ketika bis berhenti Salwa hilang, padahal bis mau berangkat, berhenti Cuma sejenak untuk buang air kecil saja. Semua orang ribut mencari ke sana kemari, pak Dodi stress karena kalau Salwa jadi hilang dia yang bertanggung jawab, nanti bisa dituntu di pengadilan oleh ibunya. Eh ternyata tiba-tiba Salwa datang, semuanya jadi tenang mengucapkan alahamdulillah. Pas ditanya “Salwa kamu dari mana, kami semua khawatir mencarimu ?”. Dengan enteng penuh kepolosan Salwa menjawab, “habis poto-poto sama Zidan Pak”. Ternyata kami baru sadar, Zidan juga sebetulnya hilang, tak ada satu pun yang sadar, sementara Salwa diributkan, maklum dia cantik. Gila Cuma gara-gara poto-poto sama pacar, perjalanan kami harus terlambat setengah jam.

Gara-gara kejadian-kejadian itu, aku malas mengikuti anak-anak untuk selalu mambawa poto kalau berpergian untuk tour. Nggak unik mengabadikan sesuatu hanya dengan mempotonya saja, lagian bukan mengabadikan benda-benda unik yang ditemukan, tapi lebih cocok dikatakan lomba berpose, kalau mau Cuma berpose sudah saja jangan tour ke sana kemari, cukup di sekolah saja bisa waktu isatirahat. Berarti aku harus membuat sesuatu yang berbeda dengan anak-anak, supaya setiap perjalan bersejarahku tidak terlupakan begitu saja, tetap terdokumentasikan tapi bukan dengan poto.

Untuk mencari alternative lain otak harus diperas, apa itu cara lain untuk mendokumentasikan selain dari pada dengan poto?. Dengan ponselkah?, sama pake ponsel dipoto juga. Dengan minta tanda tangan setiap satpam penjaga tempat yang dikunjungi?. Gila malu-maluin, mendingan kalau satpamnya baik, coba kalau galaknya kaya satpam sekolah, menakutkan bukanya dikasih tanda tangan, yang ada disusruh pus up 20 kali. Kalau begitu apa yah ?.

Akhirnya jawaban itu aku dapatkan sudah, jawabanya muncul dari balik layar Bioskop Intan Garut. Film yang aku tonton judulnya “Snack Island” memberikan alternative lain. Di dalamnya ada cerita unik, ternyata dari sekian banyak orang yang berwisata menikamati keindahan pulau-pulau dan binatang Afrika ada seorang novelis yang ikut dalam perjalan itu. Dia mendokumentasikan perjalannya dengan cara dituliskan, untuk dijadikan bahan dalam Novel terbarunya. Satu pertanyaan yang menarik yang dia lontarkan kepada pemandu tour, “adakah tulisan para peneliti tentang pulau Snack Ini, atau tulisan siapun asal menceritakan tentang pulau Snacak ini?”.

Ternyata novelis itu ingin menceritakan pulau Snack bukan bertanya “adakah poto yang diambil di pulau ini sebelumnya?”. Berarti dokumentasi lewat tulisan jauh lebih dicari dibandingkan dengan dokumentasi melalui pengambilan poto-poto. Kalau begitu tulisanlah yang akan menggantikan pendokumentasianku terhadap setiap tempat tour yang aku kunjungi, mau itu museum, candi, tempat wisata atau apapun itu.

Cita-cita ternyata baru bisa diwujudkan saat ini, ditengah kibukan teman-temanku mencari Kodak, iuran beli album aku sama sekali tidak ikut cara lama yang mereka lakukan. Yang aku lakukan membawa buku kecil untuk mencatat setiap kejadian yang aku anggap unik untuk diabadkan, setiap benda yang unik, setiap pemandangan yang indah, dan yang terpenting setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh Bunga. Siapa tahu aja, nanti bisa menemukan moment yang berharga, sebetulnya Bunga itu sukanya apa?, Band favoritnya apa?, dan yang terpenting senyumanya.

Ternyata benar-benar mengasikan, awalnya memang kaya orang gila, orang lain main poto-potan aku malah menyelinap mencari tempat-tempat sunyi untuk mencatat apapun yang ku anggap layak untuk dicatat. Dalam tour sekolah ke Kawah Putih di Bandung selatan aku berhasil mendokumentasikan hal-hal yang lucu, Dita pas lagi buang air di wc tanpa sengaja si Parhan masuk, dia nggak tahu kalau di dalamnya ada Dita, gila si Parhan dipukul pake gayung yang ada airnya sampai basah kuyup. Kalau Neli lebih gila lagi, waktu di Danau Ci Saat dia jatuh dari perahu, dengan teriak-teriak minta tolong “tolong…tolong”. Eh ternyata kedalamnya Cuma sampai dengkul, dia jadi malu sendiri. Dasar cewe suka pengen diperhatiin, dan suka kecentilan.

Dari semua moment-moment yang ku catat, selain keindahan alam, dan susana di sana, yang paling sering aku baca dari semua catatan ya tentang Bunga, ternyata pas lagi curhat sama Dini di bis dan aku ngupingin dikursi belakang dia itu suka sama Doraemon, warnanya lucu kata dia Biru. Ini kesempatan emas, untuk menaklukan hatinya, berarti nanti kalau di Bioskop Intan kalau petulangan Doraemon diputer aku harus ngajakin Bunga buat nonton, sementara kalau aku ngasih hadiah sama dia warna kadonya harus biru, kan warna kesukaanya.

Selain itu juga, pas lagi makan bakso aku baru tahu kalau Bunga itu makanya rakus, nggak cukup satu porsi, dia makanya nambah. Ih gila juga ternyata, cantik-cantik ko makan baksonya dua porsi sih, ngggak mungkin ini yang sesungguhnya, kalau bener dia makanya banyak aku jadi timbang-timbang buat nembak dia, bisa-bisa uangku jebol kalau jadi pacarnya, pasti aja setiap nanti makan di Pujasera aku harus bayar dobel, diakan makanya banyak. Ih amit-amit mendingan nggak jadi pacarnya, takut makan baksonya nambah. Atau mungin kali ini dia lagi laper, apalagi susana dingin yang sangat mendukung untuk makan yang panas dan pedas-pedas. Nggak tahu deh, tapi niatku buat nemabak dia harus benar-benar dipertimbangkan, supaya bisa dicocokan dengan isi dompetku.

Kalau melalui poto mana ungkin hal-hal lucu telah berlalu bisa terabadaikan, tapi melalui tulisan hal yang telah berlalu pun bisa diabadikan. Aku bisa mencatat segimana panjangnya rambut teh Luvita, tidak sengaja waktu dia lagi nyuci pring di kamar mandi aku masuk unutuk cuci tangan, ternyata di dalam ada dia tidak berkerudung, itu terjadi waktu Pelatiahan di Kertasari. Aku bergegas ke luar, takut ketahuan, kalau dia samapai tahu rambutnya ke tahuan sama orang yang bukan muhrim bisa marah, sama kaya temen SD-ku Nurbaeti. Mengasikan, catatan kecilku penuh dengan hal-hal lucu dan mengemaskan untuk dibaca berulang-ulang. Aku yakin senadainya nanti ada peneliti yang ingin mencari tahu tentang Bandung Selatan, Garut Selatan, dan Kawah putih, dan mereka tahu tentang catatan kecilku pasti akan dijadikan sumber data, bukan poto-poto yang dimiliki oleh anak-anak.

Rabu, 06 Agustus 2008

Sengketa Ahmadiyah Dalam Sudut Pandang Multikulturalisme


Pengantar

Posting ini sengaja Nexi hadirkan kehadapan pengunjung blog-ini untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang sahabat Nexi mahasiswa Universitas Langlangbuana Bandung, Muhammad Sabit Aqdam*. Pertanyaanya sederhana tetapi sangat baik kiranya untuk mengahantakan pada sebuah pembahasan yang mendasar yang akan Nexi hadirkan kehadapan pembaca semuanya. Kurang lebih pertanyaan sahabat Nexi yang juga mengaku sebagai aktivis GMI dan HTI tersebut berbunyi demikian: “bagaimana sikap anda seandainya menjadi seorang presiden terkait dengan kasus ahamadiyah?”. Beberapa pesan singkat telah Nexi haturkan kepadanya sebgai jawaban, namun ternyata hal itu kuranglah memuasakan karena terbatasanya ruang penjelasan yang tersedia dalam media komunikasi seperti mobile phone, maka tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan menyandarkanya pada kajian materi hukum baik UUD, ataupun SKB yang dikeluarkan oleh Tiga mentri. Tapi bukan berarti dalam posisi Nexi sebgai presiden melainkan hanya sekedar seorang pemerhati Konstitusi yang masih belajar.

Selain itu yang perlu diperhatikan sudut pandang dalam tulisan ini sama sekali tidak disandarkan pada pemahaman yang disandarkan pada diri Nexi sebagai seorang muslim. Tetapi sandaran tulisan ini adalah berbasiskan referensi sudut pandang multikulturlisme yang merupakan bagian dari antropologi politik, segementasi masayarakat Indonesia baik secera vertical ataupun horizontal yang termasuk dalam kajian sistem social budaya Indonesia, dan yang terpenting semuanya didasarkan pada UUD 1945 hasil amandemen ke empat tahun 2002. Bila keberangkatan Nexi menulis tulisan ini berbasiskan pada pemahaman Nexi sebagai seorang muslim tentunya Nexi secara pribadi tanpa bisa dipungkiri nurani akan menolak kenyataan bila baginda nabi yang Nexi cintai dianggap ada kembali yang menggantikanya. Namun bila sudut pandang multikulturalisme yang tercermin dalam consensus konstitusi (UUD) yang dijadikan rujukan, tentulah sikap Nexi-pun akan berbeda.

Kajian Yuridis Hukum

Masalah ahmadiyah ini sebetulnya dalam diskusi yang Nexi lakukan beberapa bulan ke belakang di saat kasus Monas mencuat di media sudah dianggap selesai dengan lahirnya SKB Tiga mentri. Namun ternyata ketidak puasan terhadap kebijakan pemerintah dengan hanya mengeluarkan SKB kembali muncul pada hari minggu dengan diselenggarakanya tabligh akbar yang mengecam keberadaan ahamdiyah. Tabligh akabar itu terjadi di Surakarta dengan dihadiri oleh ribuan umat islam, termasuk dalam kesempatan itu ketua MUI dan pengacara umat islaam atas kasus sengketa dengan ahmadiyah hadir untuk memberikan tausyiah. Apa yang terjadi di Surakarta tersebut ternyata belumlah berkahir, kemarin hari senin tepatnya tanggal 4 Agustus bertepatan dengan hari bahagia Meta (pernikahanya) sahabat penulis di Garut, Forum Umat Islam atau FUI kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembubaran ahamdiyah di depan gedung Istaan Negara. Hal ini menjadikan menariknya kembali sengketa ahmadiyah ini untuk diangkat ke permukaan seperti yang sedang Nexi lakukan saat ini.

Sebagai tanggapan atas kenyataan tersebut marilah kita merujuk konstitusi (UUD) untuk membuktikan apakah memang ahmadiyah ini harus dibubarkan sebagaimana tuntutan sebahagian umat islam?, ataukah ahmadiyah ini mempunyai hak untuk hidup seperti hak yang diperoleh oleh kebanyakan kepercayaan yang ada di indonesia ?. Dalam Bab I, Pasal 1 UUD ayat (3) dinyatakan1: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil perubahan meteri hukum yang terjadi pada amandemen ke-tiga UUD pada tahun 2001. Bila pasal 1 ayat (3) berbunyi demikian maka hal ini mempunyai konsekuensi kekuasaan tertinggi dalam Negara adalah hokum itu sendiri sebagaimana dalam Bagian Umum, Sub Bagian Sistem Pemerintahan Negara UUD Angka 1 butir 1 yang berbunyi2: “ Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Persoalan apapun dalam kehidupan (sengketa) bernegara semuanya harus di sandarkan pada UUD, karena UUD bila dilihat sedari sudut pandang segmentasi masayarakat indonesia sebagai consensus dari keberagaman suku, ras, agama dan segementasi kelas social3.

Bila memang penjelasanya demikian, bahwa setiap kasus sengketa harus dikembalikan kepada UUD sebagai bentuk consensus yang disepakati oleh bangsa Indonesia, maka pada pasal 28E UUD ayat (2) yang berbunyi4 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Berarti bila dikembalikan ke pada pasal ini keberadaan ahmadiyah terlindungi oleh hukum, Negara mempunyai kewajiban berdasarkan kekuatan konstistusi untuk melindunginya. Kepercayaan ahmadiyah (Lahore) yang meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi adalah termasuk dalam bingkai perlindungan materi hukum dalam UUD yang berbunyi “kebebasan meyakini kepercayaan”. Apalagi untuk ahamdiyah Qadian yang sama sekali tidak menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, hanya sebagai pembaharu sebgaiamana dalam dialog Nexi dengan alumni yayasan Firy Yogyakarta.

Di sisi lain hukum yang berlaku di Indonesia menurut Mahfud MD mempunyai hierarki tersendiri. Artinya hierarki hukum ini berlaku atau mempunyai konsekuensi, hukum yang lebih rendah derajatnya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi derajatnya5. Hierarki hukum itu sendiri adalah Pancasila (yang tertinggi), UUD, UU, dan Perataturan Pemerintah (PP), (termasuk perundangan kebawahnya, seperti Perda). Terkait dengan dikeluarkanya SKB Tiga Mentri, Kejaksaan, Mentri Agama dan Mendagri, maka sebetulnya SKB itu seandianya memang mempunyai kekuatan hukum yang disandarkan pada UU No 1 tahun 65 tentang penodaan agama sebetulnya bertentangan dengan UUD pasal 28E ayat (1). Di sisi lain SKB yang dalam poin satunya berisi tentang pelarangan aktivitas penyebaran ajaran ahamadiyah, oleh para ahli hukum masih diperdebatkan kesahannya sebagai sesuatu yang mempunyai kekutan hukum. Mengingat SKB sendiri dalam mekanisme pngambilan hukum di Indonesia sangatlah tidak jelas kedudukanya sebanding dengan apa, UU atau PP. Bila SKB dikatakan sebagai UU maka mekanisme pengambilanya harus melibatkan pihak legislative, dan bila dikatakan sebgai PP, maka yang mengelurkanya haruslah Presiden melalui kepres, bukan persekongkolan tiga mentri.

Kasarnya sebgaimana menurut para peneliti dari The Wahid Institute, SKB ini boleh dilanggar oleh kalangan Ahmadiyah, karena sama sekali tidak mempeunyai kekuatan hukum apap-apa. Kemudian yang dipermasalahkan lagi, UU tentang penodaan agama No 1 tahun 65 sudahlah sangat usang keberadaanya. Pembuatan UU tersebut dalam proses legislasinya terjadi di saaat masa Demokrasi Liberal, yang sama sekali padaa saat itu Legislatif tidak mencerminkan keberagaaman masayarakat bangsa Indonesia, karena ngotanya bukan perwakilan hasil Pemilu yang demokratis. Sementara sekarang UUD sudah mengalami amandemen beberapa kali. Sehingga UU tentang penodaan agama tersebut bisa diseret ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review di Pengadilan Konstitusi terhadap UUD pasal 28E ayat (3). Nexi mempunyai perkiraan UU No 1 tahun 65 tersebut seandianya di judicial review-kan, Mahkamah Konstistusi akan memenangkan perkara terhadap ahmadiyah bila melakuakan penggugatan.

Pantas sebetulnya bila para pengkritik hukum di Koran harian Tempo menganggap kalau SKB ini hanyalah sekedar kebijakan pemerintah yang panic dengan apa yang terjadi. Di satu sisi pemerintah memahami bila keberadaan ahamadiyah ini terlindungi oleh hukum, sendainya pemerintah membuabarkan ahmadiyah berarti Indonesia cacat sebagai Negara hukum. Hukum tidak-lah mempunyai kedudukan tertinggi lagi karena pemerintah sendiri yang melanggarnya. Hal ini bisa berakibat patal dalam perjalan sejarah bangsa Indonesia, fraksi legislative yang menjadi opoisi terhadap eksekutif bisa memanfaatkanya sebagai amunisi untuk menggugat dengan hak angket yang nantinya bisa berujung pada pemakzulan pemerintah. Sesuatu yang sama sekali tidak kita harapakan kepemimpinan SBY berakhir di tengah jalan, kondisi perpolitikan akan memakan coss yang lebih besar dan darurat.

Sementara di sisi lain tekanan untuk membubarkan ahamadiyah sangatlah kuat dari sebagian umat islam, bila pemerintah tidak mengambil tindakan dengan membiarkan ahamadiyah untuk tetap hidup dan berkembang sesuai dengan amanah konstitusi maka akan berkibat fatal juga. Pembakaran mesjid ahamadiyah di Sukabumi, Kuningan dan kekarasan yang dilakukan oleh Fron Pembela Islam di Monas terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menjadi bukti riilnya. Kekerasan akan terus berlanjut bahkan akan lebih parah lagi, bisa berakibat pada terancamnya keselamatan para penganut paham ahmadiyah. Karena konstitusipun menghendaki warga Negara (dalam hal ini warga ahmadiyah) terlindungi keselamatanya sebagai kewajiban Negara untuk melindungi warganya, maka SKB itulah jalan tengahnya sebagai bentuk kepanikan dalam menyelesaikan persoalaan tadi, di antara dua persimpangan yang problematic.

Masayarakat Majemuk

Di sisi lain perlu dipahami bersama juga, struktur masyaarakat Indonesia ini sangatalah bergam. Bangsa ini tersegmentasi kedalam struktur masyarakat yang berbeda-beda. Prof Nasikun guru besar sosiologi Gadjah Mada membagi segementasi masyarakat Indonesia ke dalam perbedaan secara vertical dan Horizontal. Secara vertical masyarakat Indonesia di tandai dengan adanya perbedaan antara kelas social, antara orang yang mempunyai modal besar dengan orang yang mejadi buruh dari para pemilik modal tersebut. Sementara secra horizontal bangsa Indonesia ditandai dengan bergamanya suku bangsa yang ada, dari mulai suku bangsa melayu sampai suku asmat di Irian Jaya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Koentjaraningrat dalam buku “Manusia dan Kebudayaan”. Selain itu secara horizontal juga ditandai dengan adanya perbedaan dalam keyakinan, agama dan kebudayaan, seperti Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kejawen, dan masih banyak yang lainya termasuk Ahmadiyah.

Nasikun yang penelitianya di dasarkan pada pendapat seorang antropolog Barat Furnivall, berpendapat, strukutur masyarakat yang dalam bahasa sosiologinya majemuk seperti Indonesia ini sangatlah rentan dengan konplik baik vertical atau-pun horizontal, seperti kasus di Poso, Papua dan Maluku. Maka supaya masyarakat tidak terjebak dalam konplik dengan segmentasi yang ada perlu danya sebuah consensus yang disepakati bersama. Dengan catatan semua elemen masyarakat yang berbeda tersebut bisa menerima consensus yang ada tersebut, para pndiri bangsa seperi Soekarno, Hatta, Natsir, Supomo dll menyadari hal itu, dan UUD-lah sebgai refresentatif yang digambarkan oleh Nasikun tersebut. Bila konstitusi dalam hal ini UUD sebagai consensus tidak bisa menjaga kesetabilam masyarakat majemuk ditandai dengan pemihakan terhadap suatu golongan agama atau keyakinan tertentu, maka constitusi itu telah gagal untuk menjadi pemersatu keberagaman mayarakat yang ada.

Paham pluralisme agama sebagaimana yang dikumnadangkan oleh Prof. Nurcholis Madjid dari kalangan muslim, Romo Magis Suseno dari Katolik pelu untuk kembali di kedepankan. Pluralisme ini bukan dalam pengertiaan pembenaran terhadap semua agama seperti yang dikhawatirkan oleh orang yang salah dalam memahami gagasan keduanya, melainkan kehidupan rukun yang dibangun atas perbedaan yang ada. Satu sama lain di anatara kita saling menghargai kerercayaan masing-masing, biarlah perbedaan keyakinan Ahmadiyah ada dengan menganggap hal yang berbeda. Masalah keyakinan menurut hemat Nexi adalah masalah privat yang tidak bisa diganggu gugat dan dipaksakan, bukankan agama melegitimasi hal itu sebagiaman ayat yang dikutip oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban6 “(Tuhan Yang Maha Esa) adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu sekalian. Bagi kami amal perbuatan kami kami, dan bagi kamu amal perbuatanmu. Tidak perlu perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan kepada-Nya semua akan kembali”----(Q., 42:15).

Bila tetap dipaksakan dengan kehendak ingin membubarkan ahmadiyah dengan mendesak pemerintah untuk mengelurkan UU pembubaran ahmadiyah, maka inilah benih konplik yang sedang dibangun dan dipupuk itu. Pemerintah akan di hadapakan pada problema yang dilematis sebgaimana yang telah Nexi jelaskan di muka. Lagi pula demonstrasi yang terus dilancarkan untuk menekan pemerintah itu bisa menghambat jalanya perekonomian, banyak kalangan dari pengamat ekonomi menyatakan dengan terjadinya demonstrai para investor asing yang ingin menanamkan sahamnya di Indonesia menjadi enggan untuk berinvestasi. Mereka khawatir investasinya ternacam dengan kerusuhan yang bisa saja terjadi dalam demonstrasi tersebut. Mengingat dunia asuransi bengunan di Indonesia belumlah mempunyai kepastian hukum sebgaimana di Negara lain. Perekonomian bisa merosot tajam, yang berakibat pada inflasi ekonomi bila stabilitas bangsa tidak terjaga.

Hal lain yang mesti diperhatikan adalah perasaan empati, umat islam adalah umat mayoritas penduduk Indonesia. Hargailah kaum minoritas, mereka sama mempunyai hak seperti kebanyakan umat islam lainya. Tidak bisa kita memaksakan kehendak dengan seenaknya. Semuanya mesti mengacu pada konsesnsus masyarakat majemuk yaitu konstitusi. Bila ahmadiyah tetap ditekan dengan alasan penodaan agama, bagaimana dengan kepercayaan lain-Nya yang ada di Indonesia seperti yang mengganggap Alul Bait Bait memiliki hak keistimewaan, apakah itu juga akan dikatakan sebagai penodaan agama ?. atau seperti kepercayaan sebagian masyarakat di Purbalingga Jawa tengah yang sama sekali islamnya berbeda dengan kepercayaan umat islam kebanyakan karena tercampur dengan sinkretisme. Apakah itu juga akan diperlakukan seperti perlakuakn terhdapa ahamdiyah?.

Terlalu cape bila selalu mendasarkan pada perbedaan, yang harus dikedepankan untuk kemajuan bangsa adalah toleransi dan saling menghargai satu sam lain. Bagi kalangan ahmadiyah-pun usahakanlah jangan berlebih-lebihan dengan semakin menjadi-jadi merasa mendapatkan perlindungan hukum, hargailah keyakinan umat isalam. Bangsa ini harus bersatu, perbaikilah setiap diri masing-masing, jangan saling menyalahkan satu sama lain. Bila bangsa ini pecah dengan adanya saling curiga-mencuriga satu sama lain, maka berkahirlah sudah bangsa yang sekian lama dibangun di atas pengorbanan darah ini. Sebagai ucapan terimaksih pada pendiri bangsa yang telah mendirikan bangsa, maka berterimaksihlah dengan kehidupan yang rukun dan beradab. Ingat kita berbeda dalam perbedaan suku, agama dan keyakinan. Tetapi kita satu dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Penutup

Demikianlah tulisan ini Nexi hadirkan kehadapan pengunjung blog-ini semuanya, mohon maaf bila ada hal yang menyinggung. Quraissihab di dalam Pengantar Tafsir Al-Misbahnya mengatakan “pemhaman terhadap salah satu ayat oleh seseorang teruslah berubah, satu saat dia memahami seperti ini, tetapi di saat lain dia memahami berbeda dari yang sebelumnya”. Begitupun dengan apa yang terjadi pada Nexi, suatu ketika Nexi memahami persoalan sebagai ayat dalam pengertian kauniyah seperti demikian, namun tidak menutup kemungkinan bila referensi yang didapatkan jauh lebih lengkap maka Nexi akan memahaminya beda dari yang sebelumnya. Waallahu a’lamu ala kulli syaiin. Al-haqqu min-rrabik.

Yogyakarta, 5 Agustus 2008

Oleh : Rijal Ramdani, mahasiswa pemerhati Konstitusi, tinggal di Jogja.

Catatan Kaki :

* Pria tampan bertubuh kekar, sebagaimana pesanya sebagai bentuk promosi untuknya di sini.

  1. UUD 1945 dan Amandemenya. Hal 2
  2. Lihat Prof. Mahfud MD dalam “Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi”. Hal 27
  3. Dr. Haidar Natsir dalam perkuliyahan Ilmu Pemerintahan UMY. Atau lihat Prof. Nasikun dalam Sistem social Indonesia. Hal 29-36
  4. UUD 1945 dan Amandemenya. Hal 20
  5. Lihat Prof. Mahfud MD dalam “Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi”. Hal 125-126
  6. Lihat buku Islam dan Doktrin Peradaban. Hal ixxix

Daftar pustaka perlu untuk lebih jauh dikaji :

Koentjaraningrat, (1975). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Mustafa. B, (2003). Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mahfud MD, (2006). Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi.Jakarta : LP3ES.

---------------, (2006). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES.

Nasikun, (1988). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali.

Nurcholis. M, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Yayasan Wakap Paramadina.

-------------, (2008). Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan.

Soetami. S, (2007). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung : Refika Aditama.

UUD 1945, (2007). UUD 1945 dan Amandemenya. Tk: Trinity.

Sengketa Ahmadiyah Dalam Sudut

Kegelisahan Untuk tulisan Lam'lam Tentang Hubungan Agama dan Negara*


Tulisan ini dipostingkan untuk mepertanyakan ulang dan sedikit menanggapi tentang tulisan sodara Lam’lam ketua Himpunan Mahasiwa Persis (HIMA) dalam web www.himapersis.org. Sebetulnya posting tulisan sodara Lam’lam yang berjudul Hubungan Agama dan Negara itu sudahlah lama, kurang lebih sekitar bulan Desember-an tahun 2007. Namun sayang Beta baru tahu kalau tulian itu ada belum lama ini, karena maklum baru pertama kali mengunjungi web HIMA, sebelumnya tidak tahu sama sekali kalau HIMA punya alamat web. Tulisan ini hanyalah kegelisahan saja, dari seorang yang awam seperti Beta, maklum Beta baru menginjakan kaki di dunia kampus. Insyallah selanjutnya Beta mempunyai rencana untuk menghadirkan tulisan yang setuju dengan opsi ketiga “agama terpisah dari Negara untuk Indonesia” (dalam tulisan sodara Lam’lam) tentang hubungan agama dan Negara, doakan Beta ya, ide ada tapi buku-buku referensinya masih tercecer, jadi penulisanya agak lambat.

Beberapa hal yang mesti diperhatikan dari tulisan sodara Lam’lam Tentang tulisanya adalah referensinya lumayan kuat. Lam’lam membagi hubungan antara agama dan Negara dalam perdebatanya ada tiga perdebapatan pendapat. Sistem kekhalifahan yang diterpkan dalam Negara, apapun bentuk negaranya asal syariat islam tegak, dan terakhir pemisahan anatara agama dan Negara. Kurang lebih yang Beta pahami, Lam’alam tidak menyatakan secara jelas sebetulnya dia setuju yang mana, tetapi gagasanya dapat ditebak sodara Lam’lam menghendaki agama (islam) dan Negara menjadi satu tidak terpisahkan. Referensi sodar Lam’lam berbasis buku-buku keagamaan, sementara buku hukum ketatanegaraan Indonesia dan perpolitikan di Indonesia sangatlah minim, dia hanya mencantumkan Miriam Buadiardjo saja.

Ayat-ayat yang dikutipkan oleh Lam’lam masih bisa diperdebatkan sebetulnya, karena teks-teks ayat yang dijadikan basis legalitas penerapan sayariat olehnya maknanya masih umum, sama sekali bila dibaca tidak mengarah pada adanya penekanan tentang Negara. Argumentasi Lam’lam tentang Negara madinah yang dibangun oleh rasulallah cukup merefresentatifkan struktur social masayarakat Indonesia yang majemuk, tetapi bila dikaji, tentang Negara madinah yang dibangun oleh rasullah tersebut sebetulnya berbentuk Negara apa, serikat, republic, atau monarki. Kemudian sistem pemerintahanya apa, presidensil, parlementer atau campuran?. Perlu diketahui bentuk Negara ini terus berkembang, ia tidak statis, tetapi bergerak mencari posisi yang tepat senada dengan sejarah perjalanan umat manusia.

Sodara Lam’lam, bila hanya mengedepankan sejarah tentang Negara madinah saja menueut hemat Beta dia egois, sebab umat lain-pun mempunyai sejarah tentang bangsa-nya di ajaman dahulu. Seperti orang Hindu, Budha, Katolik dan Konghucu. Bila Lam’alam tetap memaksakan sejarah islam saja, maka bagaimana dengan keinginan umat lain untuk mendirikan Negara sesuai dengan sejarah yang mereka miliki. Sodara Lam’lam kurang berempati terhadap orang yang berlainan agama, mana mau mereka diataur oleh agama orang lain, coba bayangkan bila yang menjadi minoritas di Indonesia adalah umat islam, bukan hindu, budha atau-pun Katolik, apakah mau kita sebgai umat islam di atur oleh konstitusi yang menjadikan injil atau genesis sebagai konstitusi yang harus ditaati?.

Tujuan yang ingin dicapai oleh Lam’lam dengan memaksakan keinginan untuk menyatukan agama dengan Negara adalah kesejahteraan social. Pendidikan, perundangan yang terlindungi, kesehatan amsyarakat, dan yang lainya. Apakah dengan hanya mempeunyai tujuan seperti itu harus tetap memaksakan mendirikan agama Negara ?. Tidakah cukup bila itu yang diinginkan, tinggal masukan saja UU yang mengatur tentang hal itu, ko harus merombak Negara secara keseluruhan?. Ungkapan Fahd cocok untuk mengironikanya “membunuh nyamuk dengan bom”. Apakah mungkin bila agama Negara diwujudkan konstitusi tidak dibekukan terlebih dahulu?. Sesuatu yang tidak mungkin, berarti gagasan Lam’lam ini mengarah pada wacana pembekuan konstitusi, bahkan pembubaran. Bila itu yang terjadi sebagai alat untuk mewujudkan Negara agama (islam), maka Lam’lam adalah ideolog pemberontak yang merongrong persatuan dan kestauan bangsa. Sodara Lam’lam bisa dikata adalah penebar benih perpecahan bangsa.

Bila saluran yang digunakan oleh siapapun yang sepaham dengan Lam’lam memakai saluran sesuai dengan mekanisme demokrasi yang berlaku di Indonesia, maka sama sekali tidak masalah. Berarti mereka perlu memasukan banyak perwakilan di palemen, dan tentunya di parlemen sendiri kalangan yang menolak Negara agama tidak akan tinggal diam. Sah-sah saja bila dengan jalur demokrasi yang berlaku, wong siapapun boleh ko berjuang untuk memasukan ide-nya tentang baiknya Negara ini harus bagaimana, mau Kristen, katolik, Budha, Konghucu, asal dengan cara dialog di parlemen melalui perwakilan. Tapi bagi Beta pesimis-lah cita-cita sodaraLam’lam itu akan terwujud, buktinya partai yang selama ini mengaku ingin memasukan sayariat ke dalam hukum positive yang berlaku di Indonesia wakil-Nya mengerikan tidak mencerminkan idelaisme agama yang dijadikan sandaranya. Yusril tersandung kasus Tomi Soeharto dalam pencairan dana, MS Ka’ban yang dulu berorasi tentang syariat Islam di Pesantren Rancabango tersandung kasus Ade-Lin Lis dan aliran dana BLBI. Justru orang-orang yang tidak memakai idiom-idom agama yang mencerminkan mencintai bangsa ini, Rizal Ramli yang anti Neo-kolonialisme, Kwie Kian Gie yang kritis dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan Deny Indrayana yang selalu kritis terhadap kasus korupsi.

Terakhir selamat berjuang lah untuk semuanya, mari beridelaisme dengan sejuta khayalan tentang bagaiamana Indonesia kedepanya. Khsus untuk teman-teman yang beragam Hindu, Katolik dan Kristen yang biasa mengunjungi blog-Beta, sory banget yah paduka semua baca tulisan ini pasti nggak ngerti dan nggak nyambung, ini urusan dalam Negri Beta borw.

* Oleh Rijal Ramdani, Pegiat di L-KMPI Jogja.

Kegelishan Untuk Tulisan*

Minggu, 03 Agustus 2008

Teman-teman pengunjung blog-ku, terlebih dahulu Naxi mau mengucapkan permohonan maap. karena dua minggu ini tak ada posting baru yang bisa dinikmati, maklumlah sesuatu telah terjadi pada Nexi, Nexi sakit akibat terbawa arus perubahan cuaca. untunglah allah masih sayang sama Nexi, kekhawatiran Nexi dan Lexa teman se kos Nexi anak kedokteran terhapuskan sudah. Lexi ternyata negatif kena virus tifus atau DBD, padahal sbelumnya Lexa sudah khawatir, dengan kondisi Nexi yang panas menggigil sementara daerah kaki ke baah dingin, Lexa beranggapan Nexi kena Tifus, atau paling enggak DBD. alhamdulillah sekali lagi ternyata allah masih sayang sama Nexi, sehingga perkiraan Lexa melenceng setelah Nexi memeriksa darah Nexi di laboratorium PKU Muhammadiyah.
itulah yang menjadi alasan kenapa dua minggu Nexi sama sekali tidak memuat posting baru dalam Web ini. sory banget semuanya, buat temen-temen di Bandung, temen-temen pegiat di IMM sosopol yang selslu berkenan mentyempatkan diri untuk memebca rulisan-tulisan Nexi, Winto di Universitas Warmadewa Denpasar Bali, juga semuanya aja yang tak bisa disebut satu persatu yang selalu egunjungi blog yang Nexi asuh ini.
Untuk posting kali ini sengaja nexi tidak menulis tentang esai, opini ataupun cerpen. sebetulnya banyak sekali esai, opini dan cerpen yang ada di Noot Book Nexi, ingin rasanya Nexi mempostingkanya di blog ini. Namun khusus untuk posting Minggu ini, Nexi mensepesialkanya untuk sahabat Nexi dulu ketika di Pesantren, sahabat Meta yang sedang ,elangsungkan pernikahan tepat pada hari ini. sory banget Met, Nexi nggak bisa menghadiri pernikahan Meta. sebetulnya Nesi pengen banget melihat bagaimana Meta berbahagia di hari yang hanya satu kali satu terjadi dalam hidup Meta, namun sayang Met, jarak Jogja dan Garut termata jauh untuk ditempuh dengan perjalan, apalagi dengan kondisi Nexi yang masih belum fit dari akit. Nexi hanya bisa berkirim doa untuk Meta "barakallahu laka, wabaroka alaika, wajamaa bainakuma fi khoir". inilah doa yang Nexi lantunkan untukmu, sebagai kecintaan seorang sahabat untuk sahabatnya yang sedang berbahagia. semoga doa yang diajarkan baginda Nabi ini benar-benar terwujud dalam kehidupan rumah tangga yang akan Merta jalani. "wilujung bingah, mudah-mudahan enggal gaduh putra".
sayang seribu kali sayang, karena jauh-nya jarak, Nexa tidak bisa berkumpul dengan teman-teman, padahal Nexa yakin, di rumah Meta saat ini anak-anak teman-teman Nexa waktu di pesantren pada kumpul. Danun, Adi, Ikhsan, Kang Abdul, Mia, Nuzul, Asti, Fuji, pokonya banyak, kayanya lagi pada hapy-hapy-an. teman-teman penegn donk ikut kumpul, kapan kita bisa bercanda ria lagi, Nexa udah kangen banget. Kemaren pas Haflah Imtihan Nexa nggak bisa datang, sekarang pas pernikahan Metapun nggak bisa datang. Nexa rindu pada kalian semua, selamat hapy-hapy aja ya, janagan makan kekenyangan "mungpang-meungpeung gratis, maklum anak kos, di Bandung mah tuangeuna marahal".
Nexa juga pengen ngucapin selamat juga buat sahabat Ria yang telah melangsungkan pernikahnya dengan Ust Aif, "ia geuleuh ih menikot nikahteh teu ngawartosan, awas pokonamah mun nggeke ia tos gaduh putra bade diciwit supaya nangis". Buat sahabat Rostini juga, "selamat ya semoga bahagia denganTaufik yang kebetulan sahabat Nexa juga". Buat Mia, yang katanya mau nyusul nikah juga dengan some one, kata teh Ulpa jangan disebut-sebut sama orang lain some one-nya itu. "kabarin Nexa ya Mie, siapa tahu nanti kalau waktu nexa kosong, nexa bisa ngelihat secara langsung Mia bahagia, Mia peke baju pengantin dengan bunga di atas kepala berwarna kuning".
Buat teh Ica juga, "selamat ya udah punya anak, semoga menjadi walaldin solihin yad'u lahu", kan itu doa yang selalu dibacakan ust Aceng buat anak-anak shaleh. buat teh Nuzul juga sama selamat ya sudah dikarunia kepercayaan oleh allah seorang anak, "semoga shalaeh juga ya anaknya, bilangin salam dari om di Jogja, berarti teh ust Urip janten dipanggil bapa ayeunamah...ha...ha, Usatad selmat nya ".
Buat temen-temen yang lain awas jangan lupa, kalau nikah kasih tahu Nexi, nggak bisa datang juga atuh Nexi teh bisa berdoa-berdoa untuk kalian. ponya awas banget kalau nggak ngasih tahu, kalau Nexi-mah gampang nikahnya entar aja kalau udah cukup ilmu untuk membina diri, istri dan anak, baru nexi menyusul untuk nikah. itu juga kalau Nexi-nya payu nggak jomlo kaya sekarang, mudah-mudahan aja ya doaibn oleh semuanya semoga Nexi nanti dipertemukan oleh allah dengan fadis sunda yang cantikn dan shalilhah..amien..
Terakhir, Nexi mengucpakan salam persahabatan untuk semuanya yang berkenan membaca tulisan ini. Posting ini Nexi sepecialkan untuk sahabat Meta, walaupun nggak ngirim kado atauh tapi dengan mempubilkasikanya di Internetpun kan semua orang jadi pada tahu. mereka yang nggak pada hadir ke pernikahan Met maksudnya, kaya temen-teen di akarta ; Via, Himah, Dacel, luar pulau Jawa ; Kasaman, Malik, Siti Nurhasanah dan ditempat terpencil lainya. Kalau mereka buka blog Nexi jadi pada tahu kan...dah teman-teman, salam buat gadis berkerudung agak merah ya, yang beras dan berpenampilan Melayu.