Wacana public saat ini yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan terutama media masa adalah mengenai kepemimpinan kaum muda. Sebetulnya wacana ini tidaka hanya memicu lontaran opini saja tetapi mendorong juga terjadinya konsekuensi gairah diskusi di kampus-kampus terutama di pakultas social politik.
Wacana ini muncul tidak terlepas berakar pada apa yang terjadi pada tanggal 28 oktober 2007 bertepatan dengan peringatan hari sumpah pemuda. Dimana beberapa tokoh politik dari generasi muda diantaranya Paisal Basri sebagi ekonom, kemudian Anis Baweda sebagai akdemisi muda, Adiansyah Daud sebagi mentri pemuda olahraga, juga mereka yang selama ini sudah mempunyai sepak terjang luas dalam kancah perpolitikan nasional melakukan ikrar ulang atas sumpah p[emuda.
Sebagai media politik yang cukup berpengaruh KOMPAS beberapa hari setelah adanya ikrar tokoh kaum muda itu banyak memuat opini pro dan kontra atas butir-butiran isi dari ikrar itu sendiri. Salah satu komentar yang layak untuk dikutip adalah apa yang diungkapakan wakil presiden Jusuf Kala dan juga sebagai politisi senior Partai Golkar. Menurutnya apa yang dilakukan tokoh-tokoh muda tersebut tidak mencerminkan sama sekali perjuangan yang dilakukan tokoh-tokoh muda dahulu ketika merumuskan sumpah pemuda.
Dilain pihak dukungan positif muncul dari pengamat politik Universitas
Terlepas dari kontropersi dukungan dan penolakan kepemimpinana kaum muda ini, penbulis ingin rasanya memberikan komentar positif sebagai ajang ikut bertpartisipasi dalam wacana penyaluran aspirasi dan gagasan. Terlepas dari gagasan ini produktif atau tidaknya itu adalah urusan siapan yang merespon dan latar belakang penghargaaan dari masing-masing kalakter individu itu sendiri.
Kepemimpinan merupakan sesutau yang berhak untuk dipegang oleh siapapun, baik itu kalangan muda atapun kalangan tua. Mengingat inti dari kepemimpinana itu sendiri bukan urusan tua atau mudanya seorang pemimpin tetapi seberapa kredibel seorang pemimpin mampu menjalankan roda kepemimpinanya. Kredibilaitas seorang pemimpin tidak bisa diambil hanya dari tolak ukur ego saja tetapi mesti ada pormulai bijak untuk menentukan layak atau tidak layaknya seseorang untuk memimpin.
Seorang motivator Gereja Amerika Jhon C Maxwel dalam bukunya "The 21 Laws Of Leadership" memberikan resep beberapa kemampuan yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Dari 21 hukum kepemimpinan yang ditawarkan salah satu hukum yang terpenting adalah hukum kepengaruha. Intinya menekankan pada titik seberapa besar pengaruh yang dimiliki seseorang sebesar itu pula kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini mempunyai pengertian bahwa seorang pemimpin tidak terikat siapapun baik tua atau muda asalkan mempunyai pengaruh besar untuk menjalankan kepemimpinanya.
Namun yang mesti menjadi catatan, kepengaruhan seseorang tidak terlepas dari aspek - aspek lain sebagai penopang dari kepengaruhan itu sendiri. Dalam kepemimpinan kaum yahudi ada Dua hal yang bisa menopang seorang pemimpin dikatakan berpengaruh, yaitu aspek kekuatan pisik dan kekuatan akal pikiran. Mempunyai pengertian pisik sehat, kuat, kredibel tidak cacat dan mempunyai kelebihan kekuatan. Kecakapan dibuktikan dengan kualitas pikiran dan kecerdasan yang dimiliki, mengingan menjalankan roda kpemimpinan memerlukan pemahaman dan pemikiran inovatif sebagai ajang memajukan atau memepertahankan kualaitas organisasi bahkan negara yang dipimpinya.
Walapun seseorang mempunyai pisik kuat akal cerdas sebetulnya hal itu masih belum cukup untuk menempatkan seseorang menjadi seorang pemimpin. Karena kepemimpinan juga mesti dibentuk dari dasar tidak semudah mebalikan telapak tangan. Itu artinya seseorang akan berpengaruh jika dibiasakan untuk mempengaruhi orang lain. Kebanyakan tokoh muda saat ini salah menempatkan kepengaruhan itu sendiri, mereka hanya bisa berkutik pada media dengan memberikan kritik-kritik tajam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan tokoh tua yang saat ini sedang menjalankan tampuk kekuasaan. Maka disini perlu adanya kearifan tokoh-tokoh muda untuk melibatkan diri pada lembaga-lembaga resmi Negara yang bisa mengantarkan mereka untuk bisa memimpin.
Lembaga yang paling pas untuk mengantaraknya adalaah partai politik, mengingat strategi dasar dalam meraih kekuasaan sebagaimana menurut Miriam Budiarjo adalah kendaraan Partai Politik. Seandainya kaum muda enggan untuk bergabung dengan kendaraan Partai Politik maka wacana yang mereka anggkat untuk menduduki kursi kepemimpinana adalah isapan jempol semata. Seaindainya mereka tidak setuju dengan kendaraan Partai Politik, kemudian mengangkat wacana jalur perseorangan dalam mencalonkan diri, maka pemahaman mengenai Negara demokrasi harus dipertanyakaan kepada mereka. Mengingat kendaraan resmi dalam system Demokrasi Negara
Hal lain yang mesti menjadi sorotan adalah apa yang dilakukan kaum muda ini seolah cengeng tidak punya ide untuk berkuasa. Seandainya memang mempunyai keinginana untuk berkuasa mengapa harus menyalahkan atau seolah merengek kepada kaum tua meminta untuk diberi kesempatan. Seharusnya berusaha bagaimana membuat strategi politik yang bisa mengantarkan mereka dan mengakhiri dominasi kepemimpinan kaum tua yang kolot dan lamban ini. Ingatlah perubahan bukan hanya hayalan, tetapi perubahan adalah mutlak untuk diwujudkan.
* Tulisan ini merupakan esai yang dipersipakan untuk presentasi syarat peserta Training Politik IMM cabang A.R. Fakhrudin di Pimpinan Daerah Muhammdaiyah Kota Yogyakarta