Rabu, 06 Agustus 2008

Sengketa Ahmadiyah Dalam Sudut Pandang Multikulturalisme


Pengantar

Posting ini sengaja Nexi hadirkan kehadapan pengunjung blog-ini untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang sahabat Nexi mahasiswa Universitas Langlangbuana Bandung, Muhammad Sabit Aqdam*. Pertanyaanya sederhana tetapi sangat baik kiranya untuk mengahantakan pada sebuah pembahasan yang mendasar yang akan Nexi hadirkan kehadapan pembaca semuanya. Kurang lebih pertanyaan sahabat Nexi yang juga mengaku sebagai aktivis GMI dan HTI tersebut berbunyi demikian: “bagaimana sikap anda seandainya menjadi seorang presiden terkait dengan kasus ahamadiyah?”. Beberapa pesan singkat telah Nexi haturkan kepadanya sebgai jawaban, namun ternyata hal itu kuranglah memuasakan karena terbatasanya ruang penjelasan yang tersedia dalam media komunikasi seperti mobile phone, maka tulisan ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan menyandarkanya pada kajian materi hukum baik UUD, ataupun SKB yang dikeluarkan oleh Tiga mentri. Tapi bukan berarti dalam posisi Nexi sebgai presiden melainkan hanya sekedar seorang pemerhati Konstitusi yang masih belajar.

Selain itu yang perlu diperhatikan sudut pandang dalam tulisan ini sama sekali tidak disandarkan pada pemahaman yang disandarkan pada diri Nexi sebagai seorang muslim. Tetapi sandaran tulisan ini adalah berbasiskan referensi sudut pandang multikulturlisme yang merupakan bagian dari antropologi politik, segementasi masayarakat Indonesia baik secera vertical ataupun horizontal yang termasuk dalam kajian sistem social budaya Indonesia, dan yang terpenting semuanya didasarkan pada UUD 1945 hasil amandemen ke empat tahun 2002. Bila keberangkatan Nexi menulis tulisan ini berbasiskan pada pemahaman Nexi sebagai seorang muslim tentunya Nexi secara pribadi tanpa bisa dipungkiri nurani akan menolak kenyataan bila baginda nabi yang Nexi cintai dianggap ada kembali yang menggantikanya. Namun bila sudut pandang multikulturalisme yang tercermin dalam consensus konstitusi (UUD) yang dijadikan rujukan, tentulah sikap Nexi-pun akan berbeda.

Kajian Yuridis Hukum

Masalah ahmadiyah ini sebetulnya dalam diskusi yang Nexi lakukan beberapa bulan ke belakang di saat kasus Monas mencuat di media sudah dianggap selesai dengan lahirnya SKB Tiga mentri. Namun ternyata ketidak puasan terhadap kebijakan pemerintah dengan hanya mengeluarkan SKB kembali muncul pada hari minggu dengan diselenggarakanya tabligh akbar yang mengecam keberadaan ahamdiyah. Tabligh akabar itu terjadi di Surakarta dengan dihadiri oleh ribuan umat islam, termasuk dalam kesempatan itu ketua MUI dan pengacara umat islaam atas kasus sengketa dengan ahmadiyah hadir untuk memberikan tausyiah. Apa yang terjadi di Surakarta tersebut ternyata belumlah berkahir, kemarin hari senin tepatnya tanggal 4 Agustus bertepatan dengan hari bahagia Meta (pernikahanya) sahabat penulis di Garut, Forum Umat Islam atau FUI kembali menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembubaran ahamdiyah di depan gedung Istaan Negara. Hal ini menjadikan menariknya kembali sengketa ahmadiyah ini untuk diangkat ke permukaan seperti yang sedang Nexi lakukan saat ini.

Sebagai tanggapan atas kenyataan tersebut marilah kita merujuk konstitusi (UUD) untuk membuktikan apakah memang ahmadiyah ini harus dibubarkan sebagaimana tuntutan sebahagian umat islam?, ataukah ahmadiyah ini mempunyai hak untuk hidup seperti hak yang diperoleh oleh kebanyakan kepercayaan yang ada di indonesia ?. Dalam Bab I, Pasal 1 UUD ayat (3) dinyatakan1: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Pasal 1 ayat (3) ini merupakan hasil perubahan meteri hukum yang terjadi pada amandemen ke-tiga UUD pada tahun 2001. Bila pasal 1 ayat (3) berbunyi demikian maka hal ini mempunyai konsekuensi kekuasaan tertinggi dalam Negara adalah hokum itu sendiri sebagaimana dalam Bagian Umum, Sub Bagian Sistem Pemerintahan Negara UUD Angka 1 butir 1 yang berbunyi2: “ Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Persoalan apapun dalam kehidupan (sengketa) bernegara semuanya harus di sandarkan pada UUD, karena UUD bila dilihat sedari sudut pandang segmentasi masayarakat indonesia sebagai consensus dari keberagaman suku, ras, agama dan segementasi kelas social3.

Bila memang penjelasanya demikian, bahwa setiap kasus sengketa harus dikembalikan kepada UUD sebagai bentuk consensus yang disepakati oleh bangsa Indonesia, maka pada pasal 28E UUD ayat (2) yang berbunyi4 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Berarti bila dikembalikan ke pada pasal ini keberadaan ahmadiyah terlindungi oleh hukum, Negara mempunyai kewajiban berdasarkan kekuatan konstistusi untuk melindunginya. Kepercayaan ahmadiyah (Lahore) yang meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi adalah termasuk dalam bingkai perlindungan materi hukum dalam UUD yang berbunyi “kebebasan meyakini kepercayaan”. Apalagi untuk ahamdiyah Qadian yang sama sekali tidak menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, hanya sebagai pembaharu sebgaiamana dalam dialog Nexi dengan alumni yayasan Firy Yogyakarta.

Di sisi lain hukum yang berlaku di Indonesia menurut Mahfud MD mempunyai hierarki tersendiri. Artinya hierarki hukum ini berlaku atau mempunyai konsekuensi, hukum yang lebih rendah derajatnya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi derajatnya5. Hierarki hukum itu sendiri adalah Pancasila (yang tertinggi), UUD, UU, dan Perataturan Pemerintah (PP), (termasuk perundangan kebawahnya, seperti Perda). Terkait dengan dikeluarkanya SKB Tiga Mentri, Kejaksaan, Mentri Agama dan Mendagri, maka sebetulnya SKB itu seandianya memang mempunyai kekuatan hukum yang disandarkan pada UU No 1 tahun 65 tentang penodaan agama sebetulnya bertentangan dengan UUD pasal 28E ayat (1). Di sisi lain SKB yang dalam poin satunya berisi tentang pelarangan aktivitas penyebaran ajaran ahamadiyah, oleh para ahli hukum masih diperdebatkan kesahannya sebagai sesuatu yang mempunyai kekutan hukum. Mengingat SKB sendiri dalam mekanisme pngambilan hukum di Indonesia sangatlah tidak jelas kedudukanya sebanding dengan apa, UU atau PP. Bila SKB dikatakan sebagai UU maka mekanisme pengambilanya harus melibatkan pihak legislative, dan bila dikatakan sebgai PP, maka yang mengelurkanya haruslah Presiden melalui kepres, bukan persekongkolan tiga mentri.

Kasarnya sebgaimana menurut para peneliti dari The Wahid Institute, SKB ini boleh dilanggar oleh kalangan Ahmadiyah, karena sama sekali tidak mempeunyai kekuatan hukum apap-apa. Kemudian yang dipermasalahkan lagi, UU tentang penodaan agama No 1 tahun 65 sudahlah sangat usang keberadaanya. Pembuatan UU tersebut dalam proses legislasinya terjadi di saaat masa Demokrasi Liberal, yang sama sekali padaa saat itu Legislatif tidak mencerminkan keberagaaman masayarakat bangsa Indonesia, karena ngotanya bukan perwakilan hasil Pemilu yang demokratis. Sementara sekarang UUD sudah mengalami amandemen beberapa kali. Sehingga UU tentang penodaan agama tersebut bisa diseret ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review di Pengadilan Konstitusi terhadap UUD pasal 28E ayat (3). Nexi mempunyai perkiraan UU No 1 tahun 65 tersebut seandianya di judicial review-kan, Mahkamah Konstistusi akan memenangkan perkara terhadap ahmadiyah bila melakuakan penggugatan.

Pantas sebetulnya bila para pengkritik hukum di Koran harian Tempo menganggap kalau SKB ini hanyalah sekedar kebijakan pemerintah yang panic dengan apa yang terjadi. Di satu sisi pemerintah memahami bila keberadaan ahamadiyah ini terlindungi oleh hukum, sendainya pemerintah membuabarkan ahmadiyah berarti Indonesia cacat sebagai Negara hukum. Hukum tidak-lah mempunyai kedudukan tertinggi lagi karena pemerintah sendiri yang melanggarnya. Hal ini bisa berakibat patal dalam perjalan sejarah bangsa Indonesia, fraksi legislative yang menjadi opoisi terhadap eksekutif bisa memanfaatkanya sebagai amunisi untuk menggugat dengan hak angket yang nantinya bisa berujung pada pemakzulan pemerintah. Sesuatu yang sama sekali tidak kita harapakan kepemimpinan SBY berakhir di tengah jalan, kondisi perpolitikan akan memakan coss yang lebih besar dan darurat.

Sementara di sisi lain tekanan untuk membubarkan ahamadiyah sangatlah kuat dari sebagian umat islam, bila pemerintah tidak mengambil tindakan dengan membiarkan ahamadiyah untuk tetap hidup dan berkembang sesuai dengan amanah konstitusi maka akan berkibat fatal juga. Pembakaran mesjid ahamadiyah di Sukabumi, Kuningan dan kekarasan yang dilakukan oleh Fron Pembela Islam di Monas terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menjadi bukti riilnya. Kekerasan akan terus berlanjut bahkan akan lebih parah lagi, bisa berakibat pada terancamnya keselamatan para penganut paham ahmadiyah. Karena konstitusipun menghendaki warga Negara (dalam hal ini warga ahmadiyah) terlindungi keselamatanya sebagai kewajiban Negara untuk melindungi warganya, maka SKB itulah jalan tengahnya sebagai bentuk kepanikan dalam menyelesaikan persoalaan tadi, di antara dua persimpangan yang problematic.

Masayarakat Majemuk

Di sisi lain perlu dipahami bersama juga, struktur masyaarakat Indonesia ini sangatalah bergam. Bangsa ini tersegmentasi kedalam struktur masyarakat yang berbeda-beda. Prof Nasikun guru besar sosiologi Gadjah Mada membagi segementasi masyarakat Indonesia ke dalam perbedaan secara vertical dan Horizontal. Secara vertical masyarakat Indonesia di tandai dengan adanya perbedaan antara kelas social, antara orang yang mempunyai modal besar dengan orang yang mejadi buruh dari para pemilik modal tersebut. Sementara secra horizontal bangsa Indonesia ditandai dengan bergamanya suku bangsa yang ada, dari mulai suku bangsa melayu sampai suku asmat di Irian Jaya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Koentjaraningrat dalam buku “Manusia dan Kebudayaan”. Selain itu secara horizontal juga ditandai dengan adanya perbedaan dalam keyakinan, agama dan kebudayaan, seperti Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kejawen, dan masih banyak yang lainya termasuk Ahmadiyah.

Nasikun yang penelitianya di dasarkan pada pendapat seorang antropolog Barat Furnivall, berpendapat, strukutur masyarakat yang dalam bahasa sosiologinya majemuk seperti Indonesia ini sangatlah rentan dengan konplik baik vertical atau-pun horizontal, seperti kasus di Poso, Papua dan Maluku. Maka supaya masyarakat tidak terjebak dalam konplik dengan segmentasi yang ada perlu danya sebuah consensus yang disepakati bersama. Dengan catatan semua elemen masyarakat yang berbeda tersebut bisa menerima consensus yang ada tersebut, para pndiri bangsa seperi Soekarno, Hatta, Natsir, Supomo dll menyadari hal itu, dan UUD-lah sebgai refresentatif yang digambarkan oleh Nasikun tersebut. Bila konstitusi dalam hal ini UUD sebagai consensus tidak bisa menjaga kesetabilam masyarakat majemuk ditandai dengan pemihakan terhadap suatu golongan agama atau keyakinan tertentu, maka constitusi itu telah gagal untuk menjadi pemersatu keberagaman mayarakat yang ada.

Paham pluralisme agama sebagaimana yang dikumnadangkan oleh Prof. Nurcholis Madjid dari kalangan muslim, Romo Magis Suseno dari Katolik pelu untuk kembali di kedepankan. Pluralisme ini bukan dalam pengertiaan pembenaran terhadap semua agama seperti yang dikhawatirkan oleh orang yang salah dalam memahami gagasan keduanya, melainkan kehidupan rukun yang dibangun atas perbedaan yang ada. Satu sama lain di anatara kita saling menghargai kerercayaan masing-masing, biarlah perbedaan keyakinan Ahmadiyah ada dengan menganggap hal yang berbeda. Masalah keyakinan menurut hemat Nexi adalah masalah privat yang tidak bisa diganggu gugat dan dipaksakan, bukankan agama melegitimasi hal itu sebagiaman ayat yang dikutip oleh Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban6 “(Tuhan Yang Maha Esa) adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu sekalian. Bagi kami amal perbuatan kami kami, dan bagi kamu amal perbuatanmu. Tidak perlu perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan kepada-Nya semua akan kembali”----(Q., 42:15).

Bila tetap dipaksakan dengan kehendak ingin membubarkan ahmadiyah dengan mendesak pemerintah untuk mengelurkan UU pembubaran ahmadiyah, maka inilah benih konplik yang sedang dibangun dan dipupuk itu. Pemerintah akan di hadapakan pada problema yang dilematis sebgaimana yang telah Nexi jelaskan di muka. Lagi pula demonstrasi yang terus dilancarkan untuk menekan pemerintah itu bisa menghambat jalanya perekonomian, banyak kalangan dari pengamat ekonomi menyatakan dengan terjadinya demonstrai para investor asing yang ingin menanamkan sahamnya di Indonesia menjadi enggan untuk berinvestasi. Mereka khawatir investasinya ternacam dengan kerusuhan yang bisa saja terjadi dalam demonstrasi tersebut. Mengingat dunia asuransi bengunan di Indonesia belumlah mempunyai kepastian hukum sebgaimana di Negara lain. Perekonomian bisa merosot tajam, yang berakibat pada inflasi ekonomi bila stabilitas bangsa tidak terjaga.

Hal lain yang mesti diperhatikan adalah perasaan empati, umat islam adalah umat mayoritas penduduk Indonesia. Hargailah kaum minoritas, mereka sama mempunyai hak seperti kebanyakan umat islam lainya. Tidak bisa kita memaksakan kehendak dengan seenaknya. Semuanya mesti mengacu pada konsesnsus masyarakat majemuk yaitu konstitusi. Bila ahmadiyah tetap ditekan dengan alasan penodaan agama, bagaimana dengan kepercayaan lain-Nya yang ada di Indonesia seperti yang mengganggap Alul Bait Bait memiliki hak keistimewaan, apakah itu juga akan dikatakan sebagai penodaan agama ?. atau seperti kepercayaan sebagian masyarakat di Purbalingga Jawa tengah yang sama sekali islamnya berbeda dengan kepercayaan umat islam kebanyakan karena tercampur dengan sinkretisme. Apakah itu juga akan diperlakukan seperti perlakuakn terhdapa ahamdiyah?.

Terlalu cape bila selalu mendasarkan pada perbedaan, yang harus dikedepankan untuk kemajuan bangsa adalah toleransi dan saling menghargai satu sam lain. Bagi kalangan ahmadiyah-pun usahakanlah jangan berlebih-lebihan dengan semakin menjadi-jadi merasa mendapatkan perlindungan hukum, hargailah keyakinan umat isalam. Bangsa ini harus bersatu, perbaikilah setiap diri masing-masing, jangan saling menyalahkan satu sama lain. Bila bangsa ini pecah dengan adanya saling curiga-mencuriga satu sama lain, maka berkahirlah sudah bangsa yang sekian lama dibangun di atas pengorbanan darah ini. Sebagai ucapan terimaksih pada pendiri bangsa yang telah mendirikan bangsa, maka berterimaksihlah dengan kehidupan yang rukun dan beradab. Ingat kita berbeda dalam perbedaan suku, agama dan keyakinan. Tetapi kita satu dalam satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, Indonesia.

Penutup

Demikianlah tulisan ini Nexi hadirkan kehadapan pengunjung blog-ini semuanya, mohon maaf bila ada hal yang menyinggung. Quraissihab di dalam Pengantar Tafsir Al-Misbahnya mengatakan “pemhaman terhadap salah satu ayat oleh seseorang teruslah berubah, satu saat dia memahami seperti ini, tetapi di saat lain dia memahami berbeda dari yang sebelumnya”. Begitupun dengan apa yang terjadi pada Nexi, suatu ketika Nexi memahami persoalan sebagai ayat dalam pengertian kauniyah seperti demikian, namun tidak menutup kemungkinan bila referensi yang didapatkan jauh lebih lengkap maka Nexi akan memahaminya beda dari yang sebelumnya. Waallahu a’lamu ala kulli syaiin. Al-haqqu min-rrabik.

Yogyakarta, 5 Agustus 2008

Oleh : Rijal Ramdani, mahasiswa pemerhati Konstitusi, tinggal di Jogja.

Catatan Kaki :

* Pria tampan bertubuh kekar, sebagaimana pesanya sebagai bentuk promosi untuknya di sini.

  1. UUD 1945 dan Amandemenya. Hal 2
  2. Lihat Prof. Mahfud MD dalam “Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi”. Hal 27
  3. Dr. Haidar Natsir dalam perkuliyahan Ilmu Pemerintahan UMY. Atau lihat Prof. Nasikun dalam Sistem social Indonesia. Hal 29-36
  4. UUD 1945 dan Amandemenya. Hal 20
  5. Lihat Prof. Mahfud MD dalam “Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi”. Hal 125-126
  6. Lihat buku Islam dan Doktrin Peradaban. Hal ixxix

Daftar pustaka perlu untuk lebih jauh dikaji :

Koentjaraningrat, (1975). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Mustafa. B, (2003). Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mahfud MD, (2006). Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi.Jakarta : LP3ES.

---------------, (2006). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES.

Nasikun, (1988). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali.

Nurcholis. M, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Yayasan Wakap Paramadina.

-------------, (2008). Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan.

Soetami. S, (2007). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung : Refika Aditama.

UUD 1945, (2007). UUD 1945 dan Amandemenya. Tk: Trinity.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

permasalahan ahmadiyah sangatlah urgent. pertama, dalam pembelajaran menuju negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralis, kedua, meningkatkan pemahaman kita terhadap manajement konflik, ketiga, pemebelajaran diri dan yang terakhir, mempertanyakan kembali idealisme kita sebagai seorang muslim...
ada beberapa hal yang sangat ingin saya sampaikan terkait masalah ahmadiyah yang anda tulis.
• pertama saya sangat senang melihat statement anda yang terlihat bijak dalam menanggapi permasalahan ahmadiyyah.
• kedua, entah idealisme apa yang anda usung sehingga sama sekali tak terlihat bahwa anda beridentitas (maaf) tapi kenyataannya anda seperti orang akkb...he3 bercanda (jgn dianggap)
pelanggaran jamaat ahmadiyah dalam aktifitas keagamaannya sebenarnya sangatlah memukul hati umat Islam, entah anda merasakannya atau tidak. namun saya paham betul mengapa ada beberapa garis keras yang sangat ingin membubarkan ahmadiyyah. sebenarnya sayapun sangat tidak setuju atas aksi destruktif yang diperlihatkan golongan ini, dan sebenarnya mereka juga tidak sadar bahwasannya konsekuensi yang harus mereka terima sangatlah besar sama dengan tindakan yang mereka lakukan "semakin sulit untuk membubarkan ahmadiyyah".
tapi saya pribadi sangat tidak setuju atas keberadan ahmadiyyah di negara ketuhanan ini, beberapa alasan yang akan saya sampaikan selanjutnya bukanlah keluar dari seorang pemerhati konstitusi seperti anda, ataupun pemerhati hukum, sosial dan budaya. saya hanyalah seorang manusia yang sedang mencoba bertransformasi menjadi seorang muslim.
langsung saja...
anda tahu sendiri bahwasannya ahmadiyyah telah melanngar suatu keyakinan yang telah diyakini benar oleh masyarakat minoritas kita (Islam). mengapa minoritas karna tak semua orang sependapat dengan jalan Islam itu sendiri...penodaan agama adalah suatu tindakan pidana, pasti anda tahu benar karena anda adalah seorang pemerhati konstitusi dan saya yakin anda tahu mekanisme apa yang harus dilalui bila suatu orang atau kelompok melakukan sebuah pelanggaran pidana. anda jangan memalingkannya. alangkah indah bila kita selalu melakukan dialog dengan para pemerkosa, perampok dan pembunuh..soalnya kebanyakan orang yang membela ahmadiyyah selalu bilang dialog, dialog, dialog...jadi kepengen ngeliat muka mereka kalau saudaranya ada yang diperkosa, apakah dia akan bersedia berdialog dengan pemerkosa itu. dilihat dari sudut antropologi dan sosiologi kayaknya nggak bs deh...
terkadang nyamuk memang harus dihancurkan dengan bom (bila nyamuknya terus membesar menjadi sebesar anda) bercanda....
tapi seperti yang anda bilang, negara ini memang negara majemuk, tapi baiknya kata majemuk tidak dijadikan tameng untuk mengaburkan sebuah kebenaran. memang setiap ada permasalahan yang menimpa bangsa ini baik berupa social, culture, dan political issues kita td bisa menjadikan islam sebagai suatu anasir untuk mengukur suatu kebenaran itu (memang tidak fair di negara pancasila ini) tapi menurut saya permasalah ahmadiyyah ini sudah menyangkut perusakan nilai yang berada dalam azaz privasi ajaran Islam yang tak boleh digoyang...banyak orang (materialistis) bilang tak ada yang dirugikan oleh ajaran Ahmadiyyah, siapa bilang tak ada yang dirugikan, para pemeluk agama Islam minoritas merasa harga diri ini diinjak-injak...tak selamanya toleransi itu harus selalu saling memeluk, tidak selamanya juga nilai pluralisme hanya ditunjukan dengan memperlihatkan iba terhadap sebuah kesalahan... kalau benar katakankanlah benar ataupun sebaliknya apabila salah katakanlah juga salah...
hal lain yang perlu katakan jangan sampai anda sering bilang minoritas dan mayoritas, ukuran suatu kebenaran bukan dilihat dari sebuah kuantitas, sayapun mengatakan saya dari kelompok minoritas karena tak semua Muslim berjalan berdampingan dengan Idealisme Qur'an dan Sunnah...jadi sekali lagi jangan bilang "hargai kaum minoritas" karena saya juga minoritas. permasalahan lainnya banyak orang bilang pada musuh ahmadiyyah yang tak menjungjung tinggi nilai HAM karena sering melakukan suatu agresi yang tak perlu, memang saya akui itu sebuah kesalahan..tapi saya juga ingin bilang mana HAM untuk POSO, AMBON, MALUKU, anda juga harus berani bilang...
kamilah yang sebenarnya kaum minoritas...
saya bangga anda telah mencapai tahap memahami teks yang berujung pada konteks suatu ayat selalu berubah dalam pikiran anda sesuai waktu yang terus berjalan, tapi harapan saya anda tak mencapai tahap pemudaran memahami nilai sebuah kebenaran ketika anda terus berkembang...
anda tak salah, dan saya tak menyalahkan...anda bertuhan tapi saya belum sampai pada tahap benar-benar bertuhan...
tapi memahami sebuah kebenaran adalah naluri alami sebagai makhluk tuhan yang tak terkontaminasi tendensi-tendensi kiri yang menyesatkan....

hanya sebuah prolog
teruslah berkembang...agama mengaharapkanmu


daftar bacaan saya...........bukan pustaka

----------------. Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradistion, Chicago & London : The University of Chicago Press, 1986.
--------------- Knowledge and Human Interest, trans. by Jeremy J. Shafiro, Boston : Beacon Press, 1971.
------------------ . Memahami Islam, terj. Anas Mahyudin, ( Bandung : Pustaka 1983).
………….. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, penerj, Luqman Hakim (Bandung : Pustaka, 1987).
……………. Sufi Essays (Albany : State University of New York Press, 1972),
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta : LP3ES).
Soejatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta : LP3ES),

Rijal Ramdani mengatakan...

Komentar anda cukup beralasan dan mengagumkan. namun yang saya tangkap tidak ada jalinan pershabatan dalam komunikasi lintas agama. pembca blog saya ini tidaklah hanya kalangan uslim yang merasa minoritas seperti anda. teman-teman saya di Universitas Warmadewa yang beragama Hindu, Katolik dan Kristen bisa terwadahi dengan nilai-nila dan sudut pandang konstitusi yang ada. terimakasih untuk komentarnya, semoga allah menjadikan anda sebgai generasi penerus penyebar rahmat sebgaimana orang tua anda.

Rijal Ramdani mengatakan...

o ya tadi lupa brow, engke lamun di bandung urang hayang diajar kumaha tauh carana meh dipikaresep ku loba awe-we. kade bisa ka bablasan poho make pengaman. era manehteh maenya kitu gawe. sk sing soson-sosn tobatna, kade tong poho lamun tobat ajak si oip, papatahan meh jadi jelema bener siga lanceuk maneh, sieun weh urang mah si oip ngarasaan hirup siga meneh heula. heuruy euy

Anonim mengatakan...

kenapa komentar saya terlihat seperti eksklusufisme agama, cari sebuah kitab konstitusi tyang lebih hebat dari Al-Qur'an...saya berani uji materil dengan anda dan teman-teman anda....dan satu lagi hal yang perlu diingatkan, bukan maslah toleransi..tapi idealisme, berani menghatakan sebuah kebenaran adalah idealisme saya