Senin, 29 Desember 2008

Lidia Moskow


Di siang hari embun masih terasa, salju tanpa henti-hentinya bertebaran riang mengikuti rasa sakit hati yang menjadikan langkahku terombang-ambing seperti ini. Tatapan mataku yang kosong tidak mampu menepis bersitan cahaya mendung di tengah hari kesiangan.

"hai…Lidia……Lidia"

aku menyadari lembut memangggil-mangggil namaku, tapi hatiku berbisik "kenapa kau harus seperti ini ?",

bisikan itu terhenti tanpa aku inginkan, seolah hati berjalan mengikuti kemauan sendiri.

Setiap hari aku berjalan menyusuri troar halpas 70 Elgar, aku tak asing dengan suasana kota Moskow yang penuh dengan kerumunan orang-orang sibuk dan lalulintas padat dengan jalan bersalju.

"hai………Lidia……..Lidia…. Lidia..",

aku tahu tak baik aku bersikap seperti ini, mengacuhkan sapaan. Padahal dulu aku seorang yang ramah dan murah senyum, namun entah kemana sikap itu hilang bersama dedaunan Murbai yang terjatuh tak kuat menahan derasnya salju.

"Taxi….Taxi….", lambaian tanganku ajaib mampu menghentikan kecepatan kendaraan khas kota Moskow.

"Grad of strate dskrok stronger ?",

itu adalah sapaan sopan yang biasa terucap dari sopir Taxi penganut Nasrani Ortodox. Beda lagi dengan sapaan sopan sopir Taxi penganut paham Lenin ketika mempersilahkan penumpang untuk menaiki Taxinya. Mereka lebih suka mengucapkan sapaan dalam bahasa Jerman "laind doxor brizg stond". Tapi apa peduliku dengan sapaan mereka ini, aku tak suka sama sekali dengan sapaan mereka itu karna aku tak tahu bahkan benci dengan para penganut paham tertentu seperti mereka. Bagiku hidup ini berdiri sendiri tak terikat dengan dogma apapun.

Sungguh aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya apa yang kau anggap perlu untuk dipedulikan. Paham Marxis, itu dia yang selama ini aku cari, takan kubiarkan sungguhpun apa yang terjadi sebelum jasadku menyatu dengan kekuatan kepedulian Hendrich Karl Mark. Kusumpahkan dalam aura nadiku, aku benar-benar kagum dengan kepedulian hidup manusia setengah manusia, setengah jasadnya menyatu dengan kekuatan filsafat sehingga membawanya pada kehidupan abadi memperjuangkan ketidak adilan para penguasa.

Tatapan mataku menghentikan semua gemuruh nabiku, hanya Tiga Kilometer kenyataan akan menhadapiku.

"Pail Stret Prop Ofox polis snitz eineir", aku biasa mengungkapkan keinginanku dengan bahasa Swizerland. Di Moskow unik memang semua bahasa eropa kecuali Francis mudah untuk dimengerti siapapun juga.

"Not…Please, wait", pengertian driver yang keliatanya ber OOPS memutarkan lagu Sinozix, "when iam wraiting, she looks me by beautiful eyes". Lagu pavoritku menemani kedinginan perjalanan, tak henti-entinya driver menggelengkan kepala mengikuti alunan music melankolis khas eropa timur itu.

" plese stop….stop..", aku menghentikan laju Taxi tepat di depan benteng Kremlin yang akan menjadi jalur perjalananku menuju Universitas Moskow, mengingat kebijakan Gorbacep menempatkan fakultas Marxisme langsung bersentuhan dengan kantor departemen Proletar of Come Back.

"are you ready to wait the big filsuf ?". Aku heran, benar -benar tak menyangka dengan pernyataan yang baru saja telontar.

Di luar terlihat seorang laki-laki berjubah berjalan perlahan menatap ke dalam Taxi, aku semakin curiga dengan gerak - gerik merpati di sekeliling trotoar Simpul Bridge.

"jangan takut Lidia",

suara sinis dengan tatapan mata tak bersahabat terlontar dari depan, aku semakin ketakutan.

"jangan takut Lidia, percayalah padaku, aku ini sahabat filsufn besar yang selama ini kau jadikan pigur dan pengabdian dalam perjuanganmu menghilangkan kemiskinan…percayalah".

Rasa takut semakin menjalar menyusuri seluruh pori-pori kulit tubuhku, tak mungkin aku memberontak unttuk keluar, aku khawatir kejadian tiga bulan silam terulang, diamana aku benar-benar merasakan panasnya tembusan peluruh bersemayam dalam goresan kulitku. Aku terdiam mencoba menenangkan diri,

"kau ini sipa ?, kenap kau tau namaku ?". hatiku berbisik tuk bertanyata, tapi sayang itu hanya dalam hati, tak bisa kuucapkan dengan kat-kata, bukan aku tak mau tuk mengucapkanya, namun mulutku sulit tuk mengatakan kata-kata itu.

Driver berbalik menatapku dengan tatapan keraguan, matanya berkedip seolah memberikan isyarat dalam isyarat yang biasa dipakai dalam metode penarikan kesimpulan romantisme psikologi kaum urban dari jJerman. Seketika mataku sulit untuk ku buka terus, aku terpejam, sedikit tubuhku bergerak tiba-tiba suasana menjadi cerah. Elok rasanya aku bersimpu setengah berbaring di belakang sosok laki-laki tua berjubah dengan jenggot putih lusuh penuh dengan debu-debu percikan dari buku yang dipegangnya. Dia menatapku dengan tatapan tajam seolah ingin secepat mungkin membunuhku, wjahku tak bisa kusembunyikan namun gambaran ketakutan sekuat tenaga aku matikan dalam pancarnnya

Dari balik jeruji yang mengelilingi semua arah disekitarku terlihat tumpukan buku-buku lusuh beribu tahun umurnya. Aku sedikit hapal dengan kondisi buku, mengingat keasikan Marx meneliti tesis sebagai dalil untuk kehancuran perekonomian kapitalis menjadi motivasi kuat bagiku untuk bersahabat dengan berbagai usia buku.

"angkatlah wajahmu nak, kau manusia terpilih…kau manusia terpilih untuk melanjutkan ritual antar generasi dalam setiap abad untuk mengembangan….untuk mengembangkan filsafat keabadian namaku". Sapanya untuku berupa permintaan halus.

Suaranya aneh, berbeda dengan tatapan wajahnya, terdengar lembut serasa lembutnya saat aku menikmati sair - sair abad pertengahan. Bibirku berucap pelan, namun ucapanya tak keluar sama sekali hanya sedikit bergerak berat ke samping kiriri dan kanan

"hi..hi..hinakah aku mengabdikan hidupku untuk memujamu sebagaimana pemujaanya para penganut agama terhadap apa yang mereka sebut tuhan".

Suara itu hanya terdengar oleh diriku, tak mungkin walupun satu satu senti orang akan mendengarnya.

"jangn kau sebut tuhan dihadapanku, aku teramat benci denganya, kematian keluargaku cukup pahit untuk mengingatnya". Otak membawaku pada bisikan hati yang kedua, aku benar-benar bangga pahamnya telah menyatu dengan jiwaku.

Perlahan laki-laki tua mendekatiku dengan menggemgam secar kertas di kedua tanganya. Dia semakin menatapku dengan tatapan penuh keheranaan, mataku tak sanggup tuk beradu tatap dengan ketajaman matanya, seketika itu juga aku menundukan kepala mencari pandangan lain di hadapan wajahku.

******
Bersambung Brow Tunggu Aja

Tidak ada komentar: