Istilah syiah berasal dari kata bahasa arabﺓﻉﻱﺵ Syiah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syi i ﻱﻉﻱﺵ
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna ; pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna ; setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (htp//.www.wiekipedia.com)
Penulis menambahkan penjelasanya dari buku “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?”, karya Quraish Shihab. Menurut Quraish Shihab perlu digaris bawahi bahwa kelompok Syiah pun menamai diri mereka sebagai Ahl as-sunnah, dalam pengertian bahwa mereka juga mengikuti tuntunan Nabi.
Syiah kata Quraish Shihab (2007: 60-61) secara etimologi berarti pengikut, pendukung, pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan ide atau individu dan kelompok tertentu. Muhammad awad Maghniyah---seoarang ulama berlairan syiah---, memberikan definisi bahwa ‘mereka yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw, telah menetapkan dengan nash (pernytaan yang pasti) tentang khalifah Beliau dengan menunjuk imam Ali’.
Sementara masih menurut Quraish Shihab, seorang sunni penganut aliran Asy’ariyah mendefinisikan syiah; ‘mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra. Dan percaya bahwa beliau adalah imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunanya’.
Secara khusus sebagaiaman yang tertera dalam dalam jurnal (htp//.www.wiekipedia.com) dijelaskan bahwa syiah mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Berbeda dengan kalangan sunni yang meyakini kekhalifahan Khulafaurrasyidin. Syiah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung dimana perintah Nabi berarti sama dengan wahyu.
Quraish Shihab (2007: 122) menyatakan benar bahwa Ali adalalah imam kaum muslimin sesudah Nabi wafat. Tetapi, seperti yang dikemukakan Ali Syaritai :
‘Risalah Ali yang melampaui seluruh syahadah dan jihad yang lebih agung dari semua medan perang yang pernah dihadirinya….beliau tidak berbicara sepatah kata pun demi menjaga keutuhan islam, seperti yang pernah beliau katakana; aku bersabar walau di mataku ada butir penghalang dan di tenggorokanku ada kesedihan’.
Abbas Mahmud al-Aqqad---cendikiawan Mesir---menulis ‘Ali meyakini benar haknya dalam hal itu (kepemimpinana pasca Rasulalallah) tetapi beliau menginginkanya sebagai suatu hak yang dituntut oleh umat terdahulu sebelum beliau yang menuntutnya, karena itu beliau tidak aktif menuntut hakya. Hanya saja beliau bersama sekian sahabat tidak ikut membaiat Abu Bakar sampai setelah enam bulan dari masa jabatan Abu Bakar’.
Dari penjelasan Quraish Shihab yang mengutip seorang pemikir Syiah dan seorang pemikir Sunni ini dapat dipahami bahwa sebetulnya yang berhak untuk menggantikan kekhalifahan pasca wafatnya Nabi adalah Ali. Ali mengetahui dan menyadari akan haknya, tetapi ia memilih untuk diam menunggu kaum muslimin membaitnya.
Al-Githa menyatakan ‘syiah percaya bahwa allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menunjuk dengan tegas Ali dan menjadikanya tonggak pemandu bagi manusia sesudah beliau’. ‘Nabi yang telah menetapkan dengan tegas Ali, dan beliau mewasiatkan kepad putrnya al-Hasan, lalu al-Hasan mewasiatkan saudaranya al-Husain, demikian seterusnya sampai imam yang ke dua belas yakni al-Mahdi yang dinanatikan’. (Quraish Shihab, 2007 : 98-99)
Perlu dicatat, inilah yang penulis rasa paling penting, sebahagian dari kita mengira syiah imamiah tidak senang bahkan benci terhadap kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Bila melihat penjelasan Quraish Shihab hal itu jelas tidak, mereka menerima kekhhalifahan khulafaurrasyidin sementara hanya sebahagian dari penganut syiah imamiah yang menaruh sikap antipati terhadap ketiga kahlifah itu. Dan kata Quraish Shihab (2007: 125) sikap seperti ini amat dimabil oleh orang-orang awam.
Sementara Muhammad Iqbal---pemikir muslim Pakistan---, dalam Sirah Nabawiyah menulis;
Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya ia (Nabi) berusaha hendak bangun memimpin sembahyang seperti biasanya ternyata ia sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata:
"Suruh Abu Bakr memimpin orang-orang sembahyang."
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan salatmengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh.
"Tapi Abu Bakr orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Qur'an," kata Aisyah. Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara lebih keras Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih dirasakannya:
"Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf. Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!" Kemudian Abu Bakr datang memimpin sembahyang seperti diperintahkan oleh Nabi.Pada suatu hari karena Abu Bakar tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakr. Oleh karena Umar orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
"Mana Abu Bakr?" tanyanya. "Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Peristiwa ini lah yang selalu dijadikan khujah oleh kalangan sunni sebagai pembenaran untuk kekhalifahan Abu Bakar. Dengan alasan ketika Nabi sakit, maka yang ditunjuk oleh Nabi untuk menggantikanya sebagai imam shalat di mesi adalah Abu Bakar. Kembali penulis mengutip paragraph terkahir dari tulisan Iqbal; “Dengan demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah”.
Quraish Shihab 2007; 97-114) menyatakan, anatara kelompok syiah dan sunnah yang sangat menonjol adalah berkaitan dengan masalah imamah dan otoritas pemimpin. Bahkan kata Al-Ghita---seorang ulama syiah kontemporer---, cirri khas yang membedakan sunnah dan syiah adalah masalah tersebut.
Syiah memahami otoritas imam sebagai suatu jabatan illahi. Allah yang memilih berdasar pengetahuanya yang azali menyangkut hamba-hamba-Nya sebagaiman Dia memilih nabi’.
Syekh Ridha al-Mudzafar menyatakan ‘kami percaya bahwa al-imamah (kepemimpinan) seperti kenabian, tidak dapat wujud kecuali dengan nash dari allah melalui lisan nabi atau lisan imam yang diangkat nash apabila dia akan menyampaikan dengan nash imam yang bertugas sesudahnya. Hukum ketika itu sama dengan kenabian tanpa perbedaan, karena itu masyarakat manusia tidak memiliki wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan allah sebagai pemberi petunjuk dan pembimbing bagi seluruh manusia, sebagaimana mereka tidak mempunyai hak menetapkan, mencalonkan, atau memilihnya’.
Quraish Shihab mengomentari; di atas terbaca ada persamaan antara Nabi dan Imam, keduanya dipilih allah. Hanya saja pemilihan Nabi disampaikan allah melalui malaikat Jibril, sedang pemilihan penunjukan Imam disampaikan oleh allah melalui nabi Muhammad dan beliau lah yang menyampaikan kepada yang terpilih, dalam hal ini Ali, dan imam Ali kepada imam berikutnya al-Hasan dan seterusnya.
Ini juga berarti menurut Quraish Shihab dalam terminology syiah bahwa imam tidak mendapatkan wahyu seperti halnya Nabi, tapi imam menerima hukum-hukum dari Nabi saw. Lebih jauh walaupun imam-imam itu adalah manusia seperti manusia lain, namun mereka memperoleh kedudukan yang sangat tinggi, karena kesucian jiwa mereka.
Sementara menurut Quraish Shihab, kedudukan imam dalam pandangan ahlusunnah bersumber dari masyarakat atas dasar pilihan bebas mereka, atau yang mewakili merka. Karena itu masyarakat berkewajiban mengontrol imam/pemerintahan dan menuntut pertanggung jawabanya, bahkan masyarakat dapat mencopotnya jika imam terbukti melakukan kekufuran atau mengabaikan penegakan hukum agama. Sementara ulama sunni menetapakan bolehnya imam dicopot jika melakukan penganiyayaan terhadap jiwa atau harta benda atau hak-hak asasi manusia.
Dalam hemat penulis, pandangan yang seperti ini dapat dibuktikan jika menurut sejarah kekhalifahan dalam dinasti Umayah dan Abasiah. Pergantian imam sering terjadi akibat dorongan dari masyarakat yang memberontak tidak puas dengan kepemimpinanya. Satu sama lain dalam masa tertentu saling menjatuhkan, kesetabilan Negara terabaikan. Wajar hal itu terjadi, karena kedudukan imam tidak lah sekuat kedudukanya dalam pandangan syiah, yang mengakuti tidak ada campur tangan manusia dalam hal ini.
Sekalipun kata Quraish Shihab, banyak ulama ahlusunnah berpendapat bahwa tidak dibenarkan menempuh cara kekerasan untuk menggulingkan pemerinrahan. Mereka berpendapat bahwa menaati imam yang otoriter semisal Muawiyyah bin Abi Sufyan lebih sedikit mudharatnya disbanding dengan kekacauan.
Dengan demikian kata Quraish Shihab, dapat membadingkan bahwa ahlusunnah menilai penetapan imam ditempuh melalui musyawarah, yakni pilihan anggota masyarakat atau katakanalah dalam masyarakat moderen seperti saat ini lebih popular dikenal dengan istilah demokrasi. Sedangkan dalam pandangan syiah, imam adalah pilihan tuhan semata-mata dan dengan demikian dapat dikatan sebgai teokrasi, walaupun istilah ini tidak disenangi oleh banyak pemikir islam kontemporer.
Orang syiah mempercayai bahwa imam mempunyai kedudukan yang sama dengan nabi dari segi kemaksuman, yaitu keterpeliharaan dari perbuatan dosa, bahkan tidak mungkin keliru dan lupa. (Quraish Shihab, 2007 :100-110)
Mengenai alasan terhadap pendapat orang syiah yang demikian berikut penjelasan yang disampaikan oleh Ruhullah Imam Khomaini :
“sesungguhnya imam memiliki kedudukan yang terpuji serta tingkat yang tinggi, serta kekhalifahan terhadap alam yang tunduk kepada kekuasaanya (kekhalifahan itu) semua atom (butir-butir) alam raya. Seseungguhnya merupakan bagian dari pemahaman aksioma mazhab kami adalah imam-iamam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang didekatkan (allah ke sisi-Nya), tidak juga oleh nabi yang diutus (allah). Sesuai dengan riwayat-riwayat dan hadis-hadis yang ada pada kami, rasul tentang (muhammad) dan imam-iama---sebelum penciptaan alam---, merupakan cahaya-cahaya yang dijadikan allah memandang ke a’rsy (singgasana allah) dan meganugrahkan buat mereka kedudukan dan kedekatan yang tidak diketahui (betapa tinggi dan agungnya) kecuali oleh allah swt.
Demikian lah apa yang disamapaikan imam Khomaeni ini dalam hemat penulis bisa dijadikan alasan mengapa dalam terminilogi syiah imama mempunyai kedudukan tinggi samapai pada titik kemaksuman. Imam mempunyao kedudukan yang termat tinggi, samapai malaikat pun tidak mendapatkan kedudukan itu. begitupun dalam penciptaan, sebelum ala mini mengada, imam beserta para nabi telah diciptakan. Maka wajar bila imam mempunyai kedudukan yang tinggi.
Lebih jelasnya syekh Mudzaffar menjelaskan; “kami percaya bahwa imam, seperti nabi, haruslah terpelihara dari semua keburukan dan kekejian, yang lahir dan yang batin, sejak usia kanak-kanak sampai dengan kematian, dengan sengaja atau lupa. Dia juga harus terpelihara dari lupa, dan keslahan karena para imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama, keadaan mereka dalam hal tersebut seperti keadaan nabi. Dalil yang mengantar kami percaya n lah imam, tentang keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahn itu jugalah yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan para imam, tanpa perbedaan”.
Syekh Ridha al-Mudzafar sebagaiaman ayang dikutip Quraish Dhiba menyatakan; ‘kami percaya bahwa al-imamah (kepemimpinan) seperti kenabian, tidak dapat wujud kecuali dengan nash dari allah melalui lisan nabi atau lisan imam yang diangkat nash apabila dia akan menyampaikan dengan nash imam yang bertugas sesudahnya. Hukum ketika itu sama dengan kenabian tanpa perbedaan, karena itu masyarakat manusia tidak memiliki wewenang menyangkut siapa yang ditetapkan allah sebagai pemberi petunjuk dan pembimbing bagi seluruh manusia, sebagaimana mereka tidak mempunyai hak menetapkan, mencalonkan, atau memilihnya’.
Dalam hemat penulis dengan merujuk pada pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa allah lah yang mempunyai otoritas untuk mengangkat imam. Masyarakt luas sama sekali tidak berhak untuk menetapkan imam.
Sementara dalam terminology sunni sebagaimana menurut Quraish Shihab, kedudukan imam dalam pandangan ahlusunnah bersumber dari masyarakat atas dasar pilihan bebas mereka, atau yang mewakili merka. Karena itu masyarakat berkewajiban mengontrol imam/pemerintahan dan menuntut pertanggung jawabanya, bahkan masyarakat dapat mencopotnya jika imam terbukti melakukan kekufuran atau mengabaikan penegakan hukum agama.
Taqiyah dan Imam Mahdi
Taqiyah dari segi bahsa menurut Qurasih Shihab (2007: 199) berarti pemeliharaan atau penghindaran. Sedang menurut istilah “meningalkan sesuatu yang wajib demi memelihara diri atau menghindar dari ancaman atau gangguan”.
Dapat pula didefinisikan bahwa taqiyah itu semacam dispensasi diaman seseorang menyembunyikan iamanya ketika mereka dipaksa untuk masuk agama lain dalam keadaan diancam keselamatan jiwanya, tapi mereka tetap beragama islam dan mengimaninya di hati, tanpa harus terlihat secara fisik.
Secara umum kalangan syiah sangat kental dalam menggunakanya. Bahkan menurut syeikh Mudzaffar; “taqiyah adalah khusus imamiah yang dikenal oleh kelompok dan umat yang lain”.
Landasan yang digunakan dalam taqiyah menurut Quraish Shihab adalah;
“ kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman….”(QS. An-nahl (16); 106).
Mengomentari ayat seorang ulama sunni Faruddin ar-Razi berpendapat ; “teks ayat secara lahiriah menunjukan bahwa taqiyah baru dibenarkan dalam menghadapi orang-orang kafir yang berkuasa, tapi mazhab safii berpendapat bahwa keadaan (yang dilakukan oleh kaum muslim jika menyerupai keadaan kaum muslim dihadapi oleh kaum musyrikin), maka ketika itu taqiyah dibenarkan.
Lebih lanjut ar-Razi menjelaskan; “taqiyah dibenarkan bagi orang-orang mukmin sampai hari kiamat. Pendapat ini lebih utama (datipada pendapat yang membatasi waktunya hanay masa lampau) karena menampik mudharat bagi jiwa adlah wajib, sebatas kemampuan”.
Dari beberapa argumentasi di atas salam hemat penulis, konsep taqiyah dapat dibenarkan baik di kalangan syiah maupun di kangan sunni.
Sementara itu, Imam mahdi merupakan gelar seorang tokoh yang dipercayai akan tampil menegakan keadilan, ia merupakan imam terkahir dalam madzhab syiah. Bernama lengkap Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan. Menghilang sebelum dewasa dan akan muncul kembali sebagai imam mahdi yang dinantikan.
Menurut Qurasih Shihab (2007: 127-128), terhadap hadist-hadist yang menginformasikan akan kedatangnya. Hadist-hadist tersebut antara lain menginformasikan imam Mahdi adalah seorang dari keturunan ali bin abi thalib dan istri beliau, Fatimah, putrid rasulallah. Dia akan berkuasa selama tujuh tahun, atau sembilan tahun memenuhi persada bumi ini dengan keadilan; kehadiranya berbarengan dengan kehadiran Nabi Isa, dan beliau mengimami nabi Isa.
Penganut syiah percaya bahwa ketidak tampakan imam Mahdi terbagi dalam dua periode. Yaitu ghaibah syugra ; yaitu sejak ayahnya meninggal sampai dengan wafatnya semua perantara anatara al-Mahdi dengan masyarakat penganut aliran syiah. Dan ghaibah kubra yang berlangusng sejak berkahirnya ghaibah syugra sampai kini, bahkan sampai dengan kehadirannya nanti yang dipercayai sebagai akan hadir di masa datang.
[1] Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2007 UMY, Alumni Pesantren Persis 99 Garut