Rabu, 14 Januari 2009

Aku Melihat Gie Dengan Ketidak Jelasan[1]


soehokgie_asli

Saat ini aku seolah sudah siap untuk mati, Gie kata orang dikenal karena meninggalkan tulisan, sekalipun usianya baru 27 tahun. Aku sudah meninggalkan apa yang ditinggalkanya, jadi tak masalah. Aku yakin, gagasanku akan hidup bahkan ada yang rela untuk melanjutkanya[2].

Tak tahu aku harus melihat Gie dari sisi sebelah mana kawan, dari manapun ia bisa dilihat. Aku hanya teringat sebuah cerita dari mas Faris Al-Fahd, Ahmad Wahib mati muda, dia sama dikenal banyak orang, dikenang, dan gagasanya banyak yang melanjutkan. Satu yang ditinggalknya, catatan kecil tentang me-wahab sebagai bentuk pengakuan dirinya mengada yang bersumber dari keberadaan, dan keinginanya untuk mengajak baginda Muhammad hidup di abad IX.

Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan”. Demikian komentar Max Well mengenang Gie untuk disertasi doktornya.

Gie menulis untuk kematianya;

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua, rasa-rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda[3].

Aku jadi teringat apa yang dikatakan Fahd Djibran kepadaku.”satu yang membuatku ingin menul. Aku dendam. Kenapa aku lebih mengenal Ahmad Wahib dari pada kakeku, Wahib meninggalkan tulisan, sementara kakeku tidak”. Alasan yang selalu diulang untuk dikatakan kepada siapapun yang ditemuinya.

Di sini aku melihat Gie sebagai seorang yang meninggalkan tulisan, dia tidak sendiri, banyak orang yang mengikutinya. Gie sejajar atau bahkan hampir mirip dengan Ahmad Wahib, sama-sama dikenang karena meninggalkan tulisan. Andai Gie tidak meningglakan tulisan, mungkin sekarang aku tidak akan mengenal namanya. Riri Riza tidak akan pernah memproduseri sebuah film yang menceriatakan tentang kehidupanya. Maka berbahagialah mereka yang menulis, sekalipun mati muda akan tetap dikenang oleh sejarah.

Mungkin puisi dalam catatan harian yang Gie tulis di atas “berbahagialah mereka yang mati muda” maksudnya berbahagialah mereka yang mati dan meninggalakan tulisa. Sementara sindiranya dengan mengatakan “yang tersila adalah umur tua”, khusu untuk mereka yang diberi kesempatan hidup lama tapi tidak meninggalkan tulisan.

Bangku kuliah bukan tempat terindah bersemayamnya Gie, memang dia terbiasa duduk manis di sana, tetapi jalanan lebih disukainya. Gie lebih tergerak untuk menggabungakan diri dalam aksi-aksi jalanan mahsiswa, dia bukan seorang yang diperhitungkan, tapi lebih tepat untuk dikatakan sebagai actor intelektual di belakang mereka yang menggerakan. Sekalipun akhirnya dia kecewa; “sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI[4] adalah maling juga, mereka korupsi mereka berebut kursi”. Tulisnya.

Teras rumah warga di Bantul sama lebih ku senangi untuk duduk manis, hatiku sejuk dan otaku kosong, dari pada duduk di atas bangku dalam ketertekanan, hati gusar melihat jarum jam, ingin segera cepat berakhir. Bersendagurau dengan pak Dukuh bagiku itu pelajaran sesungguhnya, aku baru tahu dari dua orang yang tidak bisa berbahas Indonesia, papan tulis yang berejakan “Ibu sedang memasak di dapur” adalah mata pelajaran ibu-ibu kampung yang buta hurup.

Aku jadi ingat dengan apa yang ditulis Gie, yang bagiku substansinya tidak jauh beda dengan teologi Al-Maun-Nya Ahmad Dahlan dan tauhid sosialnya M. Amien Rais, kedua orangku di Muhammadiyah yang perjuanganya mesti dilanjutkan.

Ketika aku berbicara dengan Parsi sore tadi, ia juga mengalami apa-apa yang aku alami. Pada kita timbul keragu-raguan yang besar, apakah masih ada gunanya belajar berdiskusi dan lain-lain sedang rakyat kelaparan di mana-mana. Padanya terjadi rangsangan kuat untuk bertindak to take an action[5].

Jauh dari oportunis, jauh dari pragmatis, itulah yang ingin aku katakana. Andai Gie tahu saat ini mahasiswa hanya menjadi budak dari nilai mungkin dia akan menulis kritik tajam. Biaralah Gie tidak bias menulis kritik itu, dan aku yang akan menuliskanya. Betapa bodohnya andai Indeks Prestasi dijadikan tumpuan, pagi berangkat kuliah, dan siang pulang. Sementara masyarakat di sekliling kita kelaparan, mereka bodoh, tidak sedikit yang tidak bisa membaca dan menulis. Kita adalah generasi muda, actor di balik perubahan sosial, sudah saatnya bergerak, tidak hanya duduk manis mendengarakan omong kosong dosen. Sebagaia mana Gie mencintai jalanan untuk berdemonstarsi, kenapa tidak kita pun turun ke jalan untuk menentang pemerintahan yang kotor.

Andai Gie menganggap Soekarno sebagai penghianat perjuanganya sendiri di masa colonial, maka kau dan aku harus tidak mau untuk menjadi penghinat untuk perjuangan kita saat ini. Percuma bercucur keringat tangan berdarah dalam ceos menyambut kedatangan orang nomor satu bangsa ke Jogja, bila kelak tak ubahnya kau dan aku hanya menjadi penghianat baru untuk bangsa sendiri. Perjuangan kita bukan jalan untuk mencari kedudukan. Gie bergerak bukan untuk berkuasa sebagaiamana teman-temannya pemimpin gerakan mahasiswa yang akhirnya menjadi penghianat gerakananya sendiri.

Keterasingan menjadi jalan hidupnya Gie; “karena saya memutuskan, bahwa saya bertahan dengan prinsip-prinsip saya, lebih baik diasingkan dari pada menyerah terhadap kemunafikan”. Tegasnya, begitu meyakinkan.

Tulisanya dalam catatan-catatan harinya benar-benar menyentuhku, apakah kau juga demikian?. Kita harus mengkaji terus, berulang-ulang jalan apa yang terbaik untuk melawan, berjuang meniti kehidupan masyarakat berkemanusian yang lebih baik. Kita lebih baik menjadi manusia terasing dari kehidupan, untuk mempertahankan idelaisme. Gie telah melakukanya, anadai kita terjebak dalam kepentingan sesaat, maka janngan pernah berharap akan mati terhormat sebagaimana terhormatnya Gie di mata-mata orang idealis.

Gie adalah teks, ia bisa dilihat dari sisi manapun dan kita dengan bebas bisa menafsirkanya juga, sesuai dengan kehendak dan kemampuan kita.


[1]Diutlis oleh Rijal Ramdani, aktivis IMM, blogger mania, penyayang kucing dan ikan, bisa ditemui dalam htp//www.anaxifirdaus.blogspot.com. untuk pengantar nonton bareng film Gie 30 Desember 2008.

[2]Dikutip dari catatan harianku—Rijal---.

[3] Catatan Seorang Demonstran ---karya Gie, catatan harian yang dibukukan---. Hal 7

[4] Kesatuan Aksi Mahsiswa sekitar tahun 65-an, terdiri dari kesatuan gerakan yang menentang korupis di pemerintahan, dan kenaikan harga sembako.

[5] Catatan Seorang Demonstran. Hal 31

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Jal loe so penulis yah, kalau memang bener loe seorang penulis gua tantang taip kamis malam di kolam renang UNY belakang Magister Management UGM. Pucking Helllll