“Saya jadi heran, kenapa yang harus diujikan dalam Ujian Nasional dulu adalah tes kecerdasan logika-matematika dan kecerdasan bahasa (liguistik). Padahal tak semua bus di terminal ini menuntut kecerdasan logika-matematika atau linguistik. Jurusan Desain misalnya, jelas menuntut penumpangnya memiliki kecerdasan ruang. Atau jurusan musik yang menuntut kecerdasan musik dari para calon penumpangnya”.
(Immawan Fahd Djibran Dalam Buku Insomnia Amnesia)
Ketika membaca penggalan kalimat di atas saya merasa tidak percaya dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Ko bisa-bisanya apa yang dahulu saya rasa mengherankan ternyata Fahd juga merasakan hal yang sama. Baru kali ini saya tahu Fahd menuliskan keherananya itu. Perkenalan saya dengan Fahd pun baru kali ini juga semenjak menginjakan kaki di dunia kampus, UMY, terutama IMM. Memang dulu saya tahu namanya dari cerita seorang penulis buku “Filsafat Untuk Umum” yang saya temui di Garut. Tapi saya belum pernah bertemu dengan Fahd kecuali saat ini, saya tidak mengenali wajahnya kecuali saat ini juga. Apalagi saya bisa menyelami nalarnya, itu sesuatu yang tidak mungkin.
Saya merasakan kejanggalan ketika mengikuti ujian SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru) di sekolah BPK Penabur Jl.Pasir Kaliki Bandung. Ketika saya dihadapakan pada soal-soal ujian tiba-tiba terbersit dalam fikiran saya, “ko soalnya kaya gini ?, pilihan saya kan Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi Negara, keduanya masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tapi pertanyaanya satu pun tidak ada yang bersangkut paut dengan masalah-masalah politik. Kenapa pertanyaanya malah soal-soal matematika dasar, Sejarah, dan teori-teori ekonomi akuntansi yang saya benci?”. Dengan penuh kekesalan dan keyakinan tidak akan lulus SPMB saya mengerjakanya asal-asalan, sesekali saya menghitung kancing kemeja baju untuk mencari jawaban A, B, C, D, atau E.
Saya benar-benar tidak suka dengan ekonomi akuntansi, sejarah, dan matematika dasar. Semuanya terasa membosankan, lebih baik saya membaca Koran dari pada mempelajari pelajaran-pelajaran itu. Sebelumnya saya yakin dengan wawasan yang saya miliki saya bisa untuk belajar ilmu politik di Universitas Negri. Setiap hari saya membaca Koran, sebelum menginjakan kaki di Universitas pun saya sudah kenal dengan Efendi Ghazali, Adrianof.A.Chaniago dan Arbi Sanit. Tulisan-tulisan meraka menjadi makanan saya sehari-hari, kritik-kritik tajam sering terlontar dari mereka untuk pemerintah. Saya pun tertarik dengan ilmu politik, terkhusus komunikasi politik dari mereka. Niat saya tulus ingin mempelajari ilmu politik, ingin menjadi penulis lepas untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak baik.
Ketika pulang dari BPK Penabur kembali pikiran saya terkejut. Teman-teman semuanya sedang berdiskusi tentang susahnya soal SPMB yang tadi keluar. Ternyata soal yang sedang mereka diskusikan sama dengan soal yang saya kerjakan. Padahal pilihan universitas, fakultas dan jurusan kami berbeda-beda, ada yang Hukum, psikologi dan Seni Musik. Saya semakin heran, ko bisa, soal untuk yang memilih komunikasi sama dengan yang memilih ilmu hukum dan seni. Kenapa bisa-bisanya begini. Buat apa soal sejarah, matematika dasar dan ekonomi akuntansi itu ditanyakan, bukanya ilmu komunikasi, ilmu hukum dan seni tidak ada hubunganya sama sekali dengan mata pelajaran yang diujikan itu?.
Kalau sistemnya begini terus bakat-bakat yang dimiliki anak-anak seusia saya pasti semuanya tidak akan berkembang, terpenggal oleh sistem pendidikan yang tidak dimengerti oleh peserta didik arahnya ke mana. Bakat saya di dunia politik tidak seberapa, cuma pernah mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. Sementara bakatnya si Divsi bagaimana? Dia punya skill dalam bermain gitar, suaranya bagus beberapa kali pernah juara dalam lomba nyanyi di sekolah. Tapi cita-citanya kandas untuk belajar di jurusan seni musik, mata pelajaran dari soal ujian SPMB sama musuh dia juga.
Sialan sudah, kalau seperti ini universitas apa pun yang mau menerima orang bodoh, pemalas, musuh dari mata pelajaran-pelajaran tertentu akan saya pijaki. Tapi saya berpijak tidak dengan harapan yang menggebu, malas harus menyandarkan pada sesuatu yang naïf berbentuk bangunan megah. Bangunan megah yang tak memperkenalkan Filsafat secara menyeluruh, Tasauf, Hermeneutika, dan ilmu-ilmu aneh lainya. Padahal bagi saya banguanan ilmu-ilmu yang dianggap aneh ini sangatlah penting, ia adalah pondasi semangat perubahan untuk menentang kemapanan yang dzalim. Ilmu itu tidak terbatas hanya berada dalam lingkaran formal, ilmu ini luas, bisa belajar dari siapa pun termasuk dari seorang pelacur sekalipun, sebagaiamana Siddhartha belajar cinta dari Kumala, kesederhanaan dari para samana, dan belajar kehidupan dari aliran air sungai hingga ia sampai pada puncak kebijaksanaan tertinggi, yaitu Om. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar